Apakah Kamu Percaya Yesus Mati Disalib?

Anthony Galvin Green lahir Dar es Salam, Tanzania. Ibunya seorang Katolik yang taat dan ayahnya seorang agnostik, dan sejak kecil Anthony dididik sebagai seorang Katolik yang taat. Ayahnya seorang administrator kolonilal kerajaan Inggris. 

Kini, kerajaan yang terbentang begitu luasnya lebih dari sepertiga permukaan bumi itu telah hancur. Satu-satunya yang tersisa adalah beberapa pulau di Falklands. Begitu banyak hal yang berubah, termasuk Antony, bahkan namanya kini berubah menjadi Abdur Raheem Green—setelah ia masuk Islam tentunya.

Oleh ibunya, Anthony kecil adiknya, Duncan disekolahkan di asrama biara. Setiap hari ia hidup bersama para biarawan di Ampleforth College, di Yorkshire, Inggris Utara. Sang ibu menganggap dengan bersekolah di asrama akan membuat Anthony menjadi penganut Katolik yang taat.

“Seharusnya ibu juga menikah dengan seorang Katholik, tapi karena ibu menikah dengan ayah yang agnostik, ia merasa menjadi seorang penganut Katolik yang buruk. Maka, ia ingin menjadikanku seorang Katolik yang taat,” terang Anthony.

Saat Anthony berumur sembilan tahun, sang ibu mengajarinya sebuah doa yang biasa diucapkan oleh umat Katholik. Doa itu dimulai dengan kalimat “Salam maria, ibu Tuhan”. Namun, kalimat itu membuat Anthony heran. Bahkan dalam usianya yang baru sembilan tahun, kalimat itu seperti pukulan pertama, mendengar ibu berkata salam maria ibu Allah

“Aku kemudian bertanya pada diri sendiri bagaimana Tuhan bisa memiliki ibu?” katanya. Ia berpikir Tuhan seharusnya tanpa awal dan tanpa akhir. Bagaimana bisa Tuhan memiliki seorang ibu? Anthony kecil kemudian mengambil kesimpulan “jika Maria adalah ibu Tuhan, maka pasti Maria menjadi Tuhan lebih baik daripada Yesus.”

Belum lagi soal pelajaran di sekolahnya yang semakin membuatnya galau. Di sekolah, dalam satu kali setahun selalu ada pengakuan dosa kepada pastor. “Kamu harus mengakui semua dosa, jika tidak maka pengakuan dosa-dosamu tidak akan diampuni,” demikian kata sang pastur yang terus diingat oleh Anthony.

Anthony merasakan keimanannya semakin bermasalah. Pikirannya mulai liar, ia bahkan memiliki ide “Tuhan menjadi manusia”.

Pikirannya mulai terbuka. Ia sering bertanya mengapa harus sekolah di asrama, jauh dari siapapun dan dimanapun. Saat berusia sebelas tahun, sang ayah dipindah tugaskan ke Mesir. 

Ayahnya menjadi General Manager Barclays Bank di Kairo. Hampir selama sepuluh tahun, ia selalu menghabiskan waktu liburan di Mesir. Sekolah di London, dan liburan di Mesir.

Ia mulai jatuh cinta pada Mesir. Saat kembali ke sekolah seusai liburan, ia bertanya untuk apa kembali ke asrama Yorkshire Moor, ia merasa tak menyukai tempat itu. “Saya mulai bertanya pada diri sendiri mengapa saya ada, apa tujuan hidup saya, hidup ini untuk apa?”

Ia lantas mulai mencari jawaban, memulai pecarian. Pencarian itu barangkali bisa ditemukan melalui agama lain yang mungkin bisa memberikan pemahaman tentang tujuan hidup.

Sepuluh tahun waktu yang di ia habiskan di Mesir. Ada satu masa saat ia berumur 19 tahun berbincang tentang Islam dengan seseorang. Ia memang meragukan Katholik sebagai agamanya. 

Tapi saat itu siapapun yang mempertanyakan agamanya itu, ia akan tetap membela keimanannya. Ia merasakan ini sebagai sebuah paradoks yang aneh.

“Aku berbincang dnegan orang itu selama 40 menit. Pemuda itu memintaku menjawab beberapa pertanyaan darinya,” katanya.

Si pemuda menanyakan “Apakah kau mempercayai Yesus?”, Anthoni menjawab “Ya”. Pemuda itu kemudian bertanya lagi, “Apakah kamu percaya Yesus mati disalib?”, Anthoni kembali menjawab “Ya.”

Si pemuda kembali bertanya “Jadi kamu percaya Tuhan mati?”.

Seketika Anthony terperangah, menyadari sebuah ironi. Sambil mengakui kebodohan dirinya, ia menjawab, “Tentu saja saya tidak percaya Tuhan mati. Manusia tidak bisa membunuh Tuhan,” tandas Anthony.

Pertemuan dengan pemuda Mesir itu menjadi titik balik dalam kehidupan Anthony. Sebelumnya ia tak pernah bermimpi bahkan memikirkan tentang Islam. Anthony berpikir bahwa karena tak ada agama, maka ia harus jadi orang kaya. 

Ia berpikir bagaimana menghasilkan uang tapi hanya sedikit usaha. “Siapa yang ingin mengabiskan banyak waktu untuk bekerja?” pikirnya. 

Ia mengingat orang Inggris yang memiliki banyak uang tapi mereka bekerja terlalu keras, bahkan sampai terjadi revolusi industri. Orang Amerikapun harus berjuang keras untuk menjadi kaya. Orang Jepang pun dikenal sebagai penggila kerja.

“Kemudian saya berpikir tentang orang Arab. Mereka duduk di atas unta dan berteriak ‘Allahu Akbar’, tapi mereka kaya,” ujarnya.

Anthoni merasakan ketertarikan luar biasa untuk membeli Al-Quran. Ia mengambil terjemahannya. “Aku tak ingin mencari kebenaran. Aku hanya ingin tahu apa isi kitab suci ini,” katanya.

Anthony adalah pembaca yang cukup cepat. Ia membaca Al-Quran saat berada di kereta api. Seketika itu pula ia menyimpulkan dan berkata pada diri sendiri, “Jika saya pernah membaca buku yang berasal dari Tuhan, maka ini dia bukunya.”

Ia menyakini Al-Quran itu berasal dari Allah. Ketika menyadari itu ia mulai bergerak lebih jauh, tak hanya membaca Al-Quran saja, tapi untuk mengamalkannya juga. “Sama saja seperti kita melihat apel yang terlihat harum, kita tak akan pernah tahu rasanya kalau tidak mencicipinya,” katanya.

Tertarik dengan pengamalan Al-Quran ia pun mulai mencoba untuk shalat meski saat itu ia belum resmi mengucap syahadat. 

Tak tahu bagaimana cara shalat, ia mengingat-ingat bagaimana seseorang yang pernah ia temui di Mesir melakukan shalat. “Saya mengingat seorang lelaki shalat dengan cara yang lebih indah dibandingan saya ketika saya masih menjadi Katholik,” ingatnya.

Suatu hari Anthony pergi ke toko buku yang kebetulan berada di dalam masjid. Toko itu memiliki koleksi buku tentang Muhammad dan tata cara shalat. Seorang pria menanyakan apakah ia seorang Muslim. 

Anthony lantas menjawab, “Apakah saya Muslim, apa yang ia maksud dengan itu? Saya bilang ‘Ya saya bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusannya’.”

“Ah, bila demikian, Anda Muslim. Ini waktunya shalat, mari kita shalat,” ajak lelaki itu.

Anthony kebetulan datang ke toko buku itu saat hari Jumat. Ia yang tak paham gerakan shalat hanya berusaha shalat dengan gerakan yang ia tahu saja. Masih salah disana-sini. “Setelah itu orang-orang mengelilingi saya dan mengajarkan saya cara shalat yang benar. Itu rasanya fantastis!”

Namun butuh dua tahun sebelum akhirnya ia resmi bersyahadat dan menjadi Muslim. Anthony mengaku menyesal telah menyia-nyiakan waktu dua tahun sebelum menjalani Islam dengan baik. “Aku tahu kebenaran tapi tak segera menjalankannya. Itu adalah kondisi yang buruk. 

Jika kita tidak tahu, maka tidak dikenai dosa. Tapi masalahnya saya tahu apa yang benar,” katanya. Kini Anthony telah berganti nama menjadi Abdur Raheem Green. Seorang Muslim. 

READ MORE - Apakah Kamu Percaya Yesus Mati Disalib?

Kisah Kristiane Backer Presenter Kondang MTV Menemukan Islam

"Aku menemukan bahwa Al-Quran sarat dengan hal-hal rasional. Dan pandangan lamaku tentang Islam berubah

"Saya menemukan kenyataan bahwa Islam berpihak kepada perempuan dan laki-laki. Di dalam Islam perempuan telah memiliki hak untuk memilih pada tahun 600 Masehi. Perempuan dan laki-laki di dalam Islam berpakaian dengan cara yang sopan. Mereka pun tidak diperkenankan saling menggoda. Bahkan, kaum perempuannya diperintahkan untuk memanjangkan pakaian mereka."

Kristiane Backer lahir dan tumbuh dewasa ditengah keluarga Protestan di Hamburg, Jerman. Pada usia 21 tahun, ia bergabung dengan Radio Hamburg sebagai wartawati radio. Dua tahun kemudian, ia terpilih sebagai presenter MTV Eropa diantara ribuan pelamar. Sebagai konsekuensi pekerjaannya, ia pun pindah ke London, Inggris.

"Begitu luar biasa. Pada usia 20-an, aku tinggal di Notting Hill. Sebagai gadis muda di kota yang sama sekali baru, aku diundang ke mana-mana, difoto banyak papparazi, dan bekerja sebagai presenter. Saat itu aku bertemu dengan banyak orang-orang terkenal. Aku merasakan kehidupan yang sangat menyenangkan. Rasa-rasanya hampir semua gaji yang aku terima habis untuk membeli baju dan pernak-pernik yang bagus dan trendy. Aku pun sering melakukan perjalanan ke seluruh tempat-tempat menarik di Eropa", begitulah Kristiane menceritakan awal kehidupannya sebagai selebritis muda.

Sekali waktu, Kristiane pergi ke Boston mewawancari Rolling Stone dan mengikuti tur-tur besar para artis terkenal. Kristiane bahkan dinobatkan sebagai presenter perempuan nomor satu di MTV sehingga selalu muncul di layar kaca. Kristiane juga pernah menjadi presenter untuk acara Coca-Cola Report dan Europe Top 20. Boleh dibilang, jika ada kelompok musik baru, maka Kristiane-lah orang pertama yang mewawancarai mereka. Jutaan orang di Eropa pun mengenal gaya Kristiane dengan seksama dan banyak acara besar dengan penonton sebanyak 70.000 penonton sering ia bawakan.

Di tengah kehidupan glamornya, ia mengalami keguncangan spiritual. Kemudian di tahun 1992, Backer bertemu dengan Imran Khan atau memang ditakdirkan oleh Allah SWT demikian. Imran Khan adalah anggota tim kriket Pakistan. Pertemuan itu adalah pertemuan pertama kali antara Backer dengan seorang bintang yang beragama Islam. Backer dan Khan yang sama-sama mendalami Islam, selalu berdiskusi tentang Islam. Khan selalu memberikan buku-buku tentang Islam kepada Backer dan dengan penuh semangat pula Backer mengkajinya.

"Aku menemukan bahwa Al-Quran sarat dengan hal-hal rasional. Dan pandangan lamaku tentang Islam berubah. Karena apa yang kupelajari berbeda dengan anggapan orang-orang di sekitarku. Bahkan ketika aku mengkaji masalah perempuan dalam Islam, aku menemukan bahwa Islam menjunjung tinggi hak-hak wanita yang sekarang tengah diperjuangkan di seluruh dunia. Akan tetapi Islam telah menjunjung tinggi hak-hak wanita sejak ratusan tahun yang lalu. Perempuan dan laki-laki berpakaian dan bertingkah dengan cara yang sopan", jelas Backer.

Backer menceritakan bahwa sejak mengenal Islam dan membaca terjemahan Al-Quran, ia tak lagi menggunakan rok pendek dan pakaian yang buka-bukaan. Ia mulai mengenakan pakaian longgar dan panjang jika tampil di televisi. Ia dengan tegas mengatakan bahwa wanita yang membeberkan tubuhnya di depan publik adalah melecehkan seluruh wanita di muka bumi ini.

Akhirnya, Backer menerima Islam dengan lapang dada dan sukacita. Setelah mengucap syahadat, perlahan ia mempelajari shalat lima waktu dan berpuasa ramadhan. "Dulu aku sering sekali minum campagne di pesta-pesta malam, kini saya tidak lagi menyentuh minuman seperti itu", kisahnya.

Pada tahun 2001, Backer pergi menunaikan ibadah haji. Ia begitu terkesan dengan perjalanan ibadah haji. Ia menceritakan bahwa ia sedang di puncak karirnya pada saat itu. Akan tetapi ia memilih mengundurkan diri dari dunia gemerlap selebritis yang merusak jiwa dan batinnya, "Aku sudah tak sanggup lagi meneruskannya", ujarnya mengenai pekerjaannya sebagai presenter kondang MTV.

Secara total dunia showbiz ia tinggalkan. Dan Backer pun mencoba untuk menekuni bidang lain. Ia kuliah di Westminter University dan mempelajari pengobatan alami, termasuk herbal, aromatherapy, quigong (obat Cina), sari bunga dan homeopathy.

"Kuliah-kuliah seperti itu membuka dunia baru bagi saya, yaitu cara baru untuk melihat hubungan antara manusia, alam dan kesehatan dengan penyakit dan juga hubungan dengan alam semesta. Seluruh penyakit ada obatnya, dan alam menyediakan ini semua", papar Backer.

Kini Backer memiliki klinik Homeopathis sendiri di Jerman. Ia pun terlibat dalam proyek pengembangan berbagai jenis kosmetika alami dan makanan tambahan (suplemen) yang memanfaatkan obat-obatan tradisional dan berbagai jenis minyak dari tumbuhan eksotik yang ditemukan di negara-negara Arab.

Tak hanya itu ia juga mengkaji masalah agama, terutama sosial budaya, pengobatan Islami dan sosial politik Islam di Birkbeck University. Dengan begini Backer banyak terlibat dalam kegiatan sosial dan keorganisasian. Bahkan di tahun 1998, ia sukses mengorganisasikan dan mengkoordinasikan Art Exhibition and Concert yang bekerja sama dengan Duta Besar Bosnia untuk PBB, Muhammad Sacirbey. Dimana kegiatan itu dilakukan dalam rangka menyambut kedatangan presiden Bosnia Herzegovina sebagai bagian dari Bridge Project yang dimaksudkan bagi penyatuan tiga fraksi yang berbeda di tengah masyarakat Bosnia.

Backer pun aktif sebagai anggota eksekutif organisasi sosial Learning for Life. Pada tahun 2001, organisasi itu menyelenggarakan pengumpulan dana bagi penguasa Afghanistan dan ia menjadi pemandu acaranya. Backer beberapa kali mengunjungi Pakistan bersama teman-temannya dan mengamati cara hidup dan sistem nilai yang sangat berbeda dengan Barat. Ia sadar bahwa meskipun hidup miskin, ternyata masyarakat Pakistan sangat hangat dan ramah.

Kunjungannya beberapa kali ke Pakistan, bersama suaminya Imran Khan, membuat Backer merasa tersentuh dengan gaya Islam Pakistan dalam berpakaian. Seabreg pakaian panjang ala baratnya segera diganti dengan pakaian ala pakistan dan kerudung pakistannya. Bukan hanya karena agama atau suaminya yang membuat ia nyaman dengan pakaian yang tertutup. "Aku merasakan kenyamanan dengan pakaian seperti ini", jelasnya.

Inilah yang membedakan antara kehidupan Barat dengan Islam. Bahwa dua peradaban ini tidak mungkin bersatu untuk kemudian membentuk peradaban yang normal. Gaya Barat akan mengikis ke-Islaman diri kita. Dan Backer pun membuktikan bahwa Dunia Barat tidak akan mampu memuaskan jiwa kita. Backer yang telah hidup sekian waktu dalam lubang budaya Barat, menjadi sadar dan memberitahukan kepada kita, "Bahwa tak satu pun dari mereka merasakan kebahagiaan. Aku adalah buktinya. Senyum yang mengembang tidak mampu seindah senyum seorang Pakistan yang hidupnya jauh lebih miskin", jelas Backer.

Backer kini melanjutkan karirnya sebagai pemandu banyak acara sosial yang disiarkan di televisi di Eropa. Selain berbahasa Jerman, ia mampu berbahasa Inggris, Italia dan Perancis. Di dalam Islamlah Backer menemukan makna hidup yang sebenarnya, "Sungguh ini merupakan karunia terbesar yang pernah saya dapatkan."

Semoga Kristiane Backer tetap kukuh mempertahankan aqidah Islam. [NA/ berbagai sumber]

READ MORE - Kisah Kristiane Backer Presenter Kondang MTV Menemukan Islam

Dia ( Direktur Samsung Electronics Indonesia ) Yang Belajar Agama Melalui Korespondensi

Beragam alasan mualaf menemukan kebenaran Illahiah melalui Islam. Bagi Lee Kang Hyun, Direktur PT Samsung Elektronic Indonesia, Islam dipilih karena dinilai sebagai agama yang mengajarkan keramahan dan solidaritas kepada sesama. Sekitar 10 tahun pria kelahiran Seoul Korea Selatan ini telah menjadi Muslim. Dan sepanjang waktu itu pula, dia merasa dorongan untuk beramal kian membesar.

Di tengah kesibukan sebagai orang nomor satu di perusahaan elektronik papan atas ini, ia menyempatkan diri untuk mengajarkan Islam pada kedua anaknya. ''Kegiatan itu cukup menyita waktu. Namun dengan demikian, sekaligus akan berarti saya juga terus belajar tentang Islam,'' bilang Lee. 

Mulai tertarik Islam sejak bersahabat dengan orang Indonesia pada penghujung 1980-an, Lee beruntung memiliki ayah mertua yang cukup banyak mengetahui Islam. Maka korespodensi hingga diskusi soal agama selalu mengisi waktunya bila dia bertemu mertua. 

Kesan Islam sebagai agama damai, menurut Lee, dia dapatkan saat mulai lebih banyak belajar tentang Indonesia. Semakin dia ingin mengetahui soal Indonesia, kian terasakan betapa bangsa ini merupakan komunitas yang beragam namun memiliki semangat bersama dan saling berbagi. 

Lee menjadi lebih dalam memperhatikan Islam, setelah dia mengenal keluarga Roshim Hamzah, mantan pejabat BNI, yang dilihatnya amat tekun beribadah. Yang dia ingat, bapak angkatnya itu selalu menjalankan shalat tepat waktu, dan membaca Alquran usai shalat. ''Selesai shalat atau membaca Quran, bapak itu rona mukanya terlihat amat segar dan tenang. Sepertinya membaca Alquran itu sebagai obat. Paling tidak obat stress karena pekerjaan,'' kenang Lee. 

Sejak 1988, Lee memang sering bertandang ke Indonesia. Awalnya kedatangan itu karena korespondensi dengan tamannya yang kebetulan mahasiswa Universitas Indonesia. Dia bahkan sempat tinggal beberapa minggu di rumah karibnya itu, Novianto. Dari persahabatan itu, dan pengalamannya mendatangi sejumlah tempat di Indonesia, keramahan dan keakraban masyarakat Indonesia amat membekas di dalam hatinya. 

Situasi ini diakuinya, seperti kondisi Korea Selatan pada era 1970-an, saat ia masih anak-anak. Ketertarikannya kepada kehidupan masyarakat Indonesia yang kemudian semakin membuatnya tertarik ingin lebih tahu agama paling besar di sini, Islam.

Lee tak menyangka jika di kemudian hari, kedekatan batinnya dengan Indonesia mengantarnya untuk menduduki posisinya sekarang. Usai menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Ekonomi Hankuk University Korea Selatan pada 1991, dia kemudian bergabung dengan perusahaan elektronik terbesar di negaranya, Samsung. 

Dua tahun menekuni bidang ekspor, diapun mendapat promosi jabatan. Karena dinilai banyak mengetahui Indonesia, maka penugasan berikutnya yang membawanya kembali ke Indonesia pada 1993. ''Saat itu adalah kali kedelapan saya ke Indonesia. Walaupun senang tapi tak terlalu surprise,'' ujarnya. 

Namun, lanjut pria ini, pada kesempatan ke Indonesia yang kedelapan itu dirinya memiliki beban psikologis lebih tinggi. Kalau sebelumnya, datang ke Indonesia karena berlibur dan belajar banyak hal, pada 1993 dia datang ke Indonesia dengan tanggung jawab lebih besar. Ini karena Lee ditunjuk sebagai Menejer Ekspor-Impor di PT Samsung Electronic Indonesia. 

Walaupun berurusan dengan soal ekspor-impor, Lee juga mencoba dekat dengan para karyawannya. Terutama, ia ingin mendorong etos kerja buruh menjadi lebih baik. Ia pun menjadi 'pengamat'. Dilihatnya, terdapat korelasi signifikan antara agama dengan prestasi kerja. ''Mereka yang tekun dan disiplin shalat ternyata adalah karyawan yang bisa berprestasi,'' ujarnya.

Maka rasa ketertarikan kepada Islam pun kian menari dalam sanubarinya. Diakuinya pula, keinginan memeluk Agama Illahi yang paling sempurna itu juga karena keinginan lebih dekat dengan lebih 2.000 karyawan di pabrik Samsung di Cikarang Jawa Barat. ''Bukan karena unsur lain. Tapi memang kalau saja saya Islam, maka bila harus menyatukan diri dengan para karyawan, saya bakal lebih diterima. Namun intinya bukan karena mayoritas Islam terus saya jadi Islam. Bukan karena itu,'' tegasnya. 

Pria kelahiran 16 Juli 1966 ini mengaku sempat gamang dalam perjalanan menemukan kebenaran Islam. Perasaan itu justru kian menjadi setelah keinginannya memeluk Islam kian besar. 

Beruntung, ia mendapat teman diskusi yang mumpuni, salah satunya Roshim Hamzah, mantan pejabat BNI yang berdarah Aceh. ''Pak Roshim tak pernah memaksakan kehendak. Dia malah lebih banyak hanya memberi contoh bagaimana bisa taat beragama dengan tetap bisa berkarya secara profesional,'' kenang Lee. Maka belum setahun berkarya di Indonesia keputusan berislam pun diputuskan. Pada tahun 1994, Lee Kang Hyun resmi memeluk Islam setelah bersyahadat di Masjid Sunda Kelapa Jakarta. 

Sebagai Muslim, ia mengaku masih banyak 'bolong'-nya. Diakuinya, belum semua ketentuan waktu shalat diikutinya. ''Tapi setiap hari saya pasti shalat, walaupun memang belum lima waktu.'' Shubuh adalah waktu shalat yang paling sering terlewatkan. Soalnya kebiasan tidur menjelang fajar menjadikan sulitnya dia terbangun di pagi hari. 

Soal larangan mengonsumsi daging babi, menurut Lee, amat mudah dia tinggalkan selekas masuk Islam. Namun soal minuman beralkohol, belum sepenuhnya ditinggalkan, terutama saat 'puulang kampung' ke Korea. ''Minum Soju itu identik dengan budaya Korea dan rasa penghormatan terhadap semasa manusia. Maka jujur saja, saya belum bisa mencari jalan keluar untuk meninggalkan budaya itu. Tapi suatu sat saya yakin bisa,'' ujarnya. Asal tahu saja, di Korea, Islam masih dianggap sebagai sekte aneh'. 

Dua tahun ber-Islam, Lee mengaku mendapat berkah paling besar dengan menemukan jodohnya, wanita asal Sumedang, Jawa Barat. Mereka dikaruniai dua anak laki-laki, Bonny Lee (7) dan Boran Lee (2). Seiring pertumbuhan buah hatinya, ia makin terketuk untuk makin mendalami Islam. ''Soalnya bagaimana saya bisa mendidik anak dalam soal agama dengan baik, kalau saya sendiri pengetahuan Islamnya masih perlu diperdalam,'' katanya. 

Maka Allah pun memberi jalan mudah. Sang ayah mertua merelakan waktunya untuk berbagi pengetahuan Islam kepada menantunya yang masih berbangsa Korea ini. Sekarang, setiap Sabtu, dia selalu menerima surat dari ayah mertuanya yang berisikan topik bahasan Islam. ''Selain surat, ayah sering mengirimkan pula data-data dan dokumen lain soal Islam. Lalu saya selalu meluangkan waktu untuk mendiskusikannya dengan Bonny, yang sekarang mulai besar,'' ceritanya. 

Seiring dengan perjalanan karier Lee yang terus menanjak, hingga sekarang dipercaya menempati posisi Direktur PT Samsung Eelectronic Indonesia, kebiasaan 'menyebar' uang dan berbagi rezeki kepada kaum dhuafa terus menjadi kesehariannya. Namun ia menolak membicarakan hal itu. ''Saya hanya ingin berbagi dan mendidik anak-anak supaya tahu kewajiban saling membantu sesama,'' tukasnya. 

Satu lagi yang masih menjadi cita-citanya, pergi ke Tanah Suci untuk berhaji. ''Saya ingin ke Mekkah untuk berhaji. Tapi sampai sekarang belum mendapat izin cuti lebih sebulan,'' tuturnya. 



Nama: Lee Kang Hyun 
Tempat tanggal lahir: Seoul, 16 Juli 1966 
Status pernikahan : Menikah dengan dua anak 


Pendidikan :
1991: Sarjana Manajemen Ekonomi Hankuk University (Korea), * 2000: Mendalami E-commerce di Carnegie Mellon University, Pittsburgh - USA 


Pengalaman kerja: 
* 1986 - 1988 : Military training requirement 
* 1991: Samsung Electronics, Ltd (Export Team Audio-Video) 
* 1993 : manajer ekspor-impor Samsung Electronics Indonesia 
* 1998 - 2002 : Export-Import, Project General Manager 
* 1999 - 2002 : General manager marketing Samsung Electronics Indonesia 
* 2003 - sekarang : Direktur Samsung Electronics Indonesia

READ MORE - Dia ( Direktur Samsung Electronics Indonesia ) Yang Belajar Agama Melalui Korespondensi

Kisah Artis Cantik Iga Mawarni Menemukan Islam

Malam mulai turun di sebuah kamar kost di bilangan Depok, Jawa Barat, tahun 1993. Seorang perempuan cantik, hatinya bergejolak. Malam itu, seorang mahasiswi Sastra Belanda Universitas Indonesia (UI), baru saja berdiskusi antarteman, masing-masing mempertahankan pendapatnya. Sharing pendapat ini bukan hal baru dilakukan, tetapi sudah sering berlangsung. 

Hingga akhirnya, perdebatan itu menyisakan kepenasaran dan melahirkan sebuah pemikiran logis. Di suatu malam itulah, wanita bersuara merdu itu harus mengambil sebuah keputusan penting dalam hidupnya. Perempuan yang dimaksud adalah artis penyanyi terkenal, Iga Mawarni, putri kelahiran Bogor, tetapi berdarah Solo. Lagu ”Kasmaran” sempat melambungkan nama Iga Mawarni di tahun 1991. Tanpa dipengaruhi orang ketiga, penyanyi bersuara jezzi ini, akhirnya memutuskan meninggalkan kepercayaan lamanya dan memeluk Islam dengan pendekatan rasional. Ia melakukannnya dengan sepenuh hati, tanpa emosi sedikit pun. 

”Tidak ada pengalaman khusus yang saya temui untuk pindah keyakinan ini, misalnya mendengarkan azan sayup-sayup lalu hati saya bergetar. Bukan peristiwa itu. Keyakinan mengkristal justru berangkat dari lingkungan di mana saya tinggal. Sebagai anak kost kami sering berdebat, ketika kami masih kuliah di UI,” cerita Iga Mawarni mengenang masa lalunya, ketika dihubungi ”PR”, Rabu (13/10), ia tengah berlibur di Yogyakarta bersama anaknya Rajasa (3.5). 

Setelah berikrar memeluk Islam, persoalan pun muncul, terutama dari keluarganya. ”Tadinya saya tidak ingin mengatakannya terus terang, tetapi semakin saya tutupi, justru perasaan bersalah saya muncul,” desahnya.

Keputusan untuk berterus terang kepada kedua orang tuanya itu, bukan tanpa risiko. ”Semua orang tua pasti tidak rela anaknya berkhianat terhadap agamanya. Saya memakluminya ketika ayah dan ibu saya menjauhi saya. Saya harus kuat, Allah sedang menguji kekuatan saya saat itu. Dan saya berhasil menerima ujian itu,” kata Iga sedikit tersendat. 

”Yang membuat saya terharu, ketika pikiran saya mengingat mereka sebagai orang tua yang telah melahirkan saya. Begitu kuat rasa hormat itu muncul, tetapi di sisi lain saya seperti memperoleh kekuatan yang maha dahsyat untuk tetap bersikukuh, berdiri berseberangan dalam menegakkan keyakinan. Tadinya ada keinginan, semoga apa yang telah saya lakukan ini ditiru lingkungan keluarga besarku di Solo, tetapi tentu itu tidak mudah, tetapi Alhamdulillah adik kandung saya, sejak dua tahun silam telah mengikuti jejak saya menjadi pengikut Muhammad saw.,” kisah pengagum tokoh B.J. Habibie ini bahagia.

Dianggap tersesat

Konsekuensi memeluk Islam secara sadar, adalah perlakuan dari keluarga di Solo yang tidak lagi ramah. Hubungan komunikasi pun nyaris putus, bahkan suplai dana untuk biaya hidup di Jakarta dihentikan. ”Padahal saya butuh biaya untuk kuliah, skripsi, biaya hidup. Tetapi Tuhan selalu memberi jalan pada umatnya. Saat itu saya terus berdoa, semoga diberi kekuatan. Maka timbul ide untuk bekerja secara part time di Jakarta. Tawaran nyanyi juga mengalir meski tidak gencar. Dari sana saya semakin meyakini kebenaran itu selalu ada,” tegas Iga. 

Tujuh tahun, ia harus saling menjaga jarak dengan keluarga. Jika tidak dihadapi dengan kepala dingin, mungkin segalanya bisa porak poranda. Iga berhasil meredam semuanya dengan tanpa gembar-gembor. ”Tujuh tahun saya lewati hari-hari saling menjaga perasaan, tidak pernah ada rasa gentar, atau takut. Saya pernah dianggap sebagai anak tersesat oleh keluargaku di Solo. Saya tetap menikmatinya sambil terus mempelajari kedalaman keyakinan saya lewat Alquran, buku-buku penunjang lainnya, sehingga saya mengetahui mana yang menjadi larangan dan mana yang dibolehkan,” terang Iga.

Dalam pencarian memahami Islam itulah pada akhirnya ia dipertemuakan dengan seorang laki-laki yang kemudian menjadi suaminya sekarang, Charlie R. Arifin (pengusaha) yang satu ihwan. ”Saya bersyukur Tuhan mengutus laki-laki pendamping yang setia, saleh dan punya masa depan. Saat itu semakin teguh keyakinan saya memeluk Islam secara tulus ihlas.”

Iga tak lagi sendiri mendirikan salat, atau berpuasa. Ia sudah menemukan imam dalam rumah tangganya. Bersama Charlie dan Rajasa, buah kasih mereka, terkadang melakukan salat berjamaah di rumah. Bila bulan Ramadan tiba, mereka melaksanakan salat tarawih di masjid raya. Dipilihnya Masjid At-Tien TMII Jakarta Timur, sebagai tempat salat terdekat dari rumah tinggalnya, di kawasan Jakarta Timur.

”Saat puasa tiba, sebenarnya bukan hal asing bagi saya. Karena ketika masih menganut Nasrani, ada juga instruksi mendirikan puasa. Saya juga suka mela kukan puasa, hanya caranya yang berbeda,” papar Iga yang mengaku semoga tahun ini ia bisa melaksanakan puasa dengan tanpa kekalahan yang berarti dan mendapat ampunan dosa-dosa dari Allah SWT. (Ratna Djuwita/”PR”)***
Journey to Islam Oleh : Redaksi 07 Nov 2004 - 4:27 am

READ MORE - Kisah Artis Cantik Iga Mawarni Menemukan Islam

Andai saja kedua orang ini Muslim.....

Ada dua orang teman sekolah yang aku `sesalkan' kenapa kedua orang ini tidak beragama Islam saja. Keduanya begitu baik perilaku dan budi-bahasanya. Keduanya jauh lebih tua ketimbang saya. Apakah karena fator usia mereka ini sehingga perilaku mereka amat baik? Saya perhatikan mereka sambil berusaha menjawab pertanyaan saya sendiri. Tidak juga ah! Beberapa rekan yang hampir seusia dengan kedua rekanku ini, tingkah lakunya malah banyak yang kurang patut untuk dijadikan contoh. Sikap-sikap terpuji mereka itu antara lain: aktif dalam kegiatan agamanya yang terus terang Kristen, membantu teman-teman yang memerlukan, baik bantuan fisik maupun moral. Dan, dalam soal amal, saya dengar dari seorang teman, Yosina namanya, mereka tidak canggung-canggung untuk mengeluarkan 10% dari gajinya buat agamanya.

Hingga membuat aku berpikir: "Andai saja kedua orang ini Muslim....."

Kami saat itu sedang belajar di Makassar. Pesertanya dari Sabang sampai Merauke, tidak kurang dari 50 orang, dua kelas. Meski banyak yang berasal dari Jawa yang didominasi oleh orang-orang Islam, namun yang dari Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Irian Barat, rata-rata orang Kristen. Di sekolah, kami tidak banyak memperbincangkan soal agama ini karena memang bukan itu tujuan kami. Entah, barangkali karena saya cukup dekat dengan kedua teman sekolah yang sudah tua ini, maklum karena keduanya tugas belajar, membuat saya berpikir bergaul bersama orang-orang tua banyak hikmanya. Demikianlah, saya sempat `menyesalkan' keberadaan mereka sebagai umat yang bukan Islam, padahal yang satu ini, maksud saya masalah `hidayah', adalah urusan Allah SWT.

Orang yang pertama, Evert, asal Nabire, Irian Barat. Sehari-hari, baik pagi, sore, maupun malam hari, pegangannya Bible. Bahkan dia lebih tertarik belajar Bible ini dibanding mata pelajaran sekolah. Saya sampai kasihan terhadapnya, karena faktor usianya yang hampir separuh abad ini jadinya susah untuk menyerap materi pelajaran. Hingga pernah suatu hari dia menangis di depan mataku. "Aku tidak bisa meneruskan sekolah ini. Aku tidak mampu!" katanya berusaha jujur dengan kemampuan dirinya. Tapi saya coba untuk mendorong semangatnya. "Pace!" begitu saya biasa memanggilnya, "Anda harus jalan terus. Irian Barat jauh sekali. Anda telah berkorban banyak untuk berangkat ke sini. Selagi saya mampu, saya akan bantu anda untuk tetap belajar terus. OK?" dia pun mengangguk.

Evert ini nampaknya begitu lengket dengan agamanya. Pengetahuan saya tentang Islam yang amat minim menjadikan saya `terhambat' untuk berbicara tentang agama tauhid. Di kamar mandi pun, dia lantunkan lagu-lagu gereja. Biarlah!

Yang satu lagi, orang Jawa. Yono namanya, seperti Evert, juga tugas belajar statusnya. Dia sebenarnya tidak terlalu tertarik untuk belajar di sekolah kami. Hanya karena tuntutan instansinya sehingga harus terbang ke Sulawesi dari Jawa Timur. Orang satu ini dikenal oleh teman-teman sebagai sosok yang amat ringan tangan. Suka membantu orang lain, tanpa memandang agama. Sama dengan Evert pula, Yono juga selalu tampil rapi dan rajin.

Hanya saja, satu kekurangannya, seperti pula Evert, saya bisa bilang agak `tell me' alias `telat mikir'. Bukan karena tidak rajin belajar, hanya saja mungkin karena minatnya yang memang kurang. Saya sendiri tidak bisa menyalahkan keduanya. Toh mereka adalah kolega saya. Kami tinggal bersama di asrama.

Karena kelemahan faktor inilah prestasi mereka di sekolah nyaris sama, hampir selalu berada di urutan bawah. Yang namanya pengumuman ujian ulang, nyaris selalu ada kedua nama mereka! Kasihan sekali! Aku prihatin dibuatnya.

Mas Yon, begitu saya memanggilnya, meski Kristen, namun tidak serajin Evert dalam membaca Bible. Tidak pula nyanyi-nyanyi lagu gereja di kamar mandi. Karena suara Mas Yon juga tidak merdu, lagi pula kayaknya dia tidak begitu senang menyanyi, kecuali dengarkan lagu-lagu tradisonal Jawa yang berbau gamelan dan semacamnya.

Dia pernah memutuskan untuk pulang balik ke Jatim. "Jangan begitu!" bujuk saya. "Saya bantu nanti selagi saya mampu untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah!" begitu tawaran saya. Saya mencoba tawarkan jasa baik ini karena terus terang, dia sering membantu saya juga dalam persoalan finansial.

Perbedaan dari kedua orang ini yang bisa saya tangkap adalah, penampilan Evert lebih cenderung `berbau' Kristen dibanding Yono. Hal inilah yang mula-mula membuat saya heran ketika mengetahui bahwa Yono beragama Kristen. "Jadi anda Kristen?" tanya saya sedikit terkejut, manakala pertama kali kami bertemu. Sambil tersenyum, mengganti jawaban, `Ya', layaknya orang Jawa, dia tidak menjawab secara verbal pertanyaan saya.

Sejak saya kemukakan janji untuk membantu mereka, setiap ujian berlangsung ataupun ada tugas-tugas perkuliahan, sejak saat itu pula saya selalu ada `di belakang' kedua orang tersebut. Sebagai imbalannya, mereka biasanya `memberi' saya sesuatu, tidak harus dalam bentuk material. Itu yang saya tangkap. Evert yang secara jasmani, meski tua usianya, nampak kuat sekali badannya, seperti orang Irian pada umumnya. Dia selalu membela saya jika ada konflik di dalam kelas, di mana waktu itu saya duduk sebagai sekretaris di organisasi kampus. Jangan kaget: semua teman-teman takut padanya jika dia yang ada di depan dan membentak-bentak karena kami sulit diatur! Sedangkan Yono, meski tidak seperti Evert, kalau saya mintai tolong, tidak pernah menolak. Keakraban kami berlangsung hingga lulus.

"Pace main ke Jawa ya jika ada waktu?" aku mengundang Evert untuk `mampir', siapa tahu suatu hari dia akan terbang ke Jawa. Demikian pula yang saya kemukakan kepada Yono. "Aku akan main-main ke tempat Mas Yon nanti!" Kami pun pisah. Kota indah pintu gerbang Indonesia Timur Ujung Pandang, beralih lagi jadi Makassar. Kami pun pisah!

Sebagai seorang bujangan, saya memang senang tour. Sepulang dari Makassar, ada beberapa rencana berlibur termasuk ke rumah Mas Yon yang berjarak 5 jam perjalanan dari rumah saya. Sebelumnya sudah saya kira, bahwa meskipun pola hidupnya nampak sederhana, dia tergolong orang kaya dan terpandang di daerahnya. Dia masih membujang waktu itu, sekalipun usianya sudah lebih dari mapan untuk nikah. Saya juga tidak mau nyinggung hal beginian yang terlalu `private' sifatnya. Jodoh ada di tangan Tuhan!

Dia tinggal sendirian di rumah, seorang pembantu dan seorang lagi tukang kebun. Rumah besar, perabotan lengkap. Pendeknya, apa saja yang saya mau dia akan sediakan untuk memberikan pelayanan yang baik bagi tamunya. Saya juga diajak jalan-jalan keliling kota dan tempat-tempat wisata lain di daerahnya.

Sepulang dari jalan-jalan, saya kebetulan nengok ke kamar tidurnya. Saya pikir tidak ada yang saru. Toh dia menganggap saya bukan orang lain. Lagi pula dia tidak keberatan. Saya memang tidak melihat gambar-gambar gereja atau Yesus serta salib besar di kamar tamu dan kamar makannya seperti kebanyakan orang-orang Kristen, sebagai simbol-simbol agamanya.

Tapi begitu saya menengok kamar tidurnya, di sebelah tempat tidur terdapat meja kecil dengan salib kecil tertidur diatas lampu kecil. "Koq ada salib?" tanyaku iseng. "Katanya tidak mau menyembah simbol tuhan lainnya?" tanyaku lagi menagih `moment' yang pernah diucapkan bahwa dia hanya menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak percaya pada gambar-gambar, serta patung termasuk salib. Tapi yang ini? "Ya...itulah satu-satunya yang saya miliki!" jawabnya ringan. "Jadi untuk apa yang ini? Apa bukan simbol sesembahan juga?" tanyaku lagi agak mendesak.

Mas Yon tampaknya menyadari pertanyaan saya. "Sudahlah! Jangan ngomong soal agama!" pintanya. Saya turuti. Agaknya dia nggak mau terpojok!

Dari kedua pembantunya saya ketahui Mas Yon begitu besar jasanya pada orang-orang di sekitarnya tanpa ada niatan untuk `riak' ataupun dipuji. Dia juga punya anak asuh. Bayangan saya jadi yang tidak-tidak, misalnya berapa yang disumbangkan ke gereja ya? Hal inilah yang kemudian mendorong saya untuk berkata padanya sebelum saya pulang "Andai saja anda Muslim, maka segala amalan ibadah anda selama ini tidak akan sia-sia!" kataku. "Saya percaya, Allah itu Satu, hanya cara kita saja yang berbeda!" katanya membela dirinya.

Dalam doa-doa, saya mohon kepada allah SWT semoga rekan saya yang satu ini dibukakan pintu hatinya, dan diberikan olehNya hidayah.

Saya pun pulang. Sedih memikirkan seorang rekan yang baik sekali, namun tidak berada dalam jalan yang benar.

Beberapa lama sesudah itu kami tidak pernah ketemu lagi... hingga...

Suatu hari saya ikut menghadiri sebuah rapat kerja di sebuah kota yang menghadirkan wakil-wakil dari berbagai institusi dalam departemen kami bekerja. Saya sendiri ikut sebagai peserta. Ketika saya sedang sibuk mencari tempat duduk, tiba-tiba ada suara yang pernah akrab di telinga saya sedang memanggil nama saya. "Mas Yon!" aku setengah berteriak.

"Ada berita gembira!" katanya sambil ketawa. "Apa?" tanyaku tidak sabar menunggu. "Aku masuk Islam?" 

"Apa? Apa tidak salah kedengaranku?" tanyaku lagi.

"Tidak!" jawabnya meyakinkanku.

"Subhanallah....!" saya terharu..... saya rangkul sahabat lamaku yang saya anggap sebagai saudaraku. Hanya saja karena perbedaan agama itulah sehingga saya dulu sempat ada sedikit ada jarak. Tapi hari itu... semuanya jadi lain!

"Aku telah menikah!" katanya.

"Koq aku tidak diundang?"

"Nggak ramai-ramai!" jawabnya. "Sengaja kami tidak mengundang banyak orang, kecuali saudara terdekat dan tetangga!" lanjut Mas Yon menceriterakan pernikahannya, yang melengkapi ke-Islamannya.

"Jadi, masuk Islam-nya karena nikah?" tanyaku sedikit `bergurau'.

"Tidak! Aku masuk Islam karena aku memperalajari ajarannya, bukan karena pasanganku". Subhanallah...

"Ke mana Mas Yon?" tanya saya lewat telepon suatu hari di lain kesempatan. Suara yang jauh disana menjawab "Mas Yon sedang ikut kuliah subuh!"

Berita ini menambah kegembiraan hati saya. Mas Yon dulu sewaktu masih Kristen juga tidak pernah ketinggalan dalam acara-acara kebaktian. Dia termasuk Kristen taat. Alhamdulillah, harapan saya jadi terjawab. Itulah yang pernah saya impikan waktu itu, bahwa orang-orang semacam dia kalaupun menjadi Muslim, insyaallah tidak asal Muslim, melainkan akan belajar dengan sungguh-sungguh.

Ada kalanya kita memang dihadapkan pada suatu keadaan di mana orang-orang di sekitar kita yang non-Muslim itu tidak jarang perbuatannya baik sekali di dalam pandangan masyarakat, bahkan bisa jadi tokoh. Seperti pada zaman Rasulullah SAW dulu, beberapa tokoh seperti Abu Bakar sebelum beliau memeluk Islam yang memiliki sifat-sifat jujur, terpercaya dan tidak suka berdusta. Rasulullah SAW sendiri memohon kepada Allah untuk diberikan salah satu tokoh penting Quraysh untuk menjadi pendamping setia beliau SAW. Dan dipilihlah Abu Bakar r.a. sebagai seorang sahabat Rasulullah SAW yang terbaik.

Saya tidak mengatakan bahwa telah berjasa dalam proses ke-Islaman Mas Yon, apalagi turut aktif dalam perjalanan Islamisasinya. Sama sekali tidak! Hanya saja terkadang keterusterangan kita akan misi Agama Tauhid itu terkadang diperlukan termasuk menunjukkan kekeliruannya, sekalipun yang terakhir ini bisa berakibat amat pahit. Karena siapa tahu perbuatan ini bisa menjadi pintu pembuka pertama yang membuat orang lain bisa lebih jauh tertarik mempelajari Islam. Kalau bukan sekarang ya nanti. Kalau bukan tahun ini, ya tahun mendatang. Atau, kalaupun bukan dia, ya... anak-anak keturunannya kelak. Wallahu a'lam!

Journey to Islam Oleh : Redaksi 14 Jun 2004 - 8:00 am 
Syaifoel Hardy
shardy at emirates dot net dot ae (Eramuslim)

READ MORE - Andai saja kedua orang ini Muslim.....

Yvonne Ridley, Masuk Islam Setelah Ditawan Taliban

Yvonne Ridley, seorang wartawati Inggris mengaku bahagia setelah ditangkap dan diinterogasi oleh pasukan Taliban. Sosok yang selalu digambarkan 'kejam' oleh media AS

Apa perasaan Anda jika tertawan dan ditangkap musuh?. Mungkin susah untuk membayangkan nasib anda akan berakhir pada sebuah kebahagiaan. Apalagi jika menghadapi tuduhan mata-mata. Yvonne Ridley, wartawati Sunday Express, Inggris, ditangkap pasukan Taliban yang oleh media massa AS digambarkan sebagai kelompok kejam. 

Tetapi pengalaman Yvonne di Afghanistan saat ditangkap Taliban justru membuatnya masuk Islam bahkan menyebutnya sebagai keluarga terbesar dan terbaik didunia. Alkisah, mantan guru sekolah Minggu yang juga mantan peminum itu masuk Islam setelah membaca Al-Qur'an usai di lepas oleh Taliban. 

Menurutnya, kaum Taliban mendapat liputan media massa yang tidak adil. 

Bekerja sebagai wartawan Sunday Express, koran terbitan Inggris, Ridley pada September 2001 lalu diselundupkan dari Pakistan ke perbatasan Afghanistan untuk melakukan tugas jurnalistik. 

Tetapi penyamarannya justru terungkap ketika ia jatuh dari seekor keledai di dekat Jalalabad persis di depan seorang tentara Taliban dan kameranya jatuh. 

Yang ada di benaknya ketika tentara itu dengan marah mendatanginya adalah: ''Luar biasa tampan.'' 

''Bola matanya hijau, khas bola mata dari daerah itu dan dengan jenggot yang tebal.'' 

''Tetapi kemudian ketakutan mulai merayapinya. Saya sempat melihatnya lagi dalam perjalanan ke Pakistan setelah saya dibebaskan. Ia sempat melambaikan tangannya dari mobil.'' 

Ridley diinterogasi selama sepuluh hari tanpa diperbolehkan menggunakan ponsel maupun menghubungi anak perempuannya yang sedang berulangtahun ke 9. 

Ridley mengatakan ia tak menyetujui apa yang dilakukan oleh kaum Taliban ataupun apa yang mereka percaya sebagai kebenaran. 

Tetapi menurutnya anggapan umum kaum Taliban yang selama ini digambarkan sebagai monster jauh sekali dari realitas. 

Ia mengatakan, orang-orang Taliban adalah orang-orang yang baik dan ramah. 

Banyak yang mengatakan perempuan berusia 46 tahun ini terkena Sindrom Stockholm, dimana sandera malah kemudian memihak penyandera. 

Tetapi ia membantahnya: ''Saya membenci mereka yang menangkap saya. saya meludahi mereka, kasar terhadap mereka dan menolak makan. Saya tertarik Islam hanya ketika saya sudah bebas.'' 
Celana dalam 

Sebuah kejadian lucu adalah ketika Ridley menolak untuk menurunkan celana dalamnya yang baru dicuci dari jemuran. 

Sehingga wakil menteri luar negeri Taliban terpaksa turun tangan sendiri dan memintanya untuk menurunkannya karena akan bisa dilihat oleh para tentara. 

''Afghanistan sedang akan dibom oleh negara terkaya di dunia dan yang mereka pikirkan adalah celana dalam saya yang sudah kedodoran.'' 

''Dari kejadian itu saya katakan kalau mau mengusir Taliban tak perlu pakai bom segala, Amerika tinggal mengirimkan satu resimen perempuan dengan melambai-lambaikan celana dalam mereka dan Taliban pasti akan terbirit-birit.'' 

Begitu kembali ke Inggris, Ridley membaca Al- Qur'an untuk mencoba memahami pengalaman yang baru dilewatinya. 

''Saya luluh dengan apa yang saya baca. Tak ada satupun yang berubah dari isi buku ini, tak satu titikpun, sejak 1400 tahun yang lalu.'' 

''Saya bergabung dengan apa yang saya anggap sebagai keluarga terbesar dan terbaik yang ada di dunia ini. Kalau kami bersatu, kami betul-betul tak tertahankan.'' 

Bagaimana reaksi orang tuanya yang beragama Protestan Anglikan saat Yvonne masuk Islam? 

''Pada awalnya keluarga dan teman saya khawatir, tetapi ketika mereka melihat bagaimana bahagianya saya, saya lebih sehat dan merasa hidup saya lebih punya arti, mereka sangat senang.'' 

''Ibu saya sangat gembira saya tak minum lagi.'' 

Tapi bagaimana dengan tuduhan tekanan terhadap kalangan perempuan di dunia Islam? 

''Ada perempuan yang ditekan di berbagai negara Islam, tetapi bukankah itu juga bisa terjadi di Inggris utara ini dan bahkan detik ini masih terjadi.'' 

''Ini persoalan budaya bukan Islam. Qur'an jelas tegas menyebut perempuan itu satu derajat dengan pria.'' 

Kini, Ridley telah memakai baju muslim dan telah mengenakan kerudung. 

''Anda tak lagi dinilai berdasar besarnya payudara anda atau panjangnya kaki anda tetapi apa yang ada di benak anda. Sungguh membebaskan.'' 

Yang masih sulit dijalankan dalam kehidupannya sebagai seorang muslim? 

''Sholat lima kali sehari. Dan mencoba berhenti merokok.''. 
(dikutip dari www.bbc.co.uk/Hidayatullah.com/Journey to Islam Oleh : Redaksi 22 Sep 2004 - 12:16 pm )

READ MORE - Yvonne Ridley, Masuk Islam Setelah Ditawan Taliban

Inilah Kisah Ketua Paderi Seluruh Sabah Masuk Islam

Menjelang Perhimpunan Agung UMNO Mei 11 - 13 dan dengan gejala murtad terus bergolak agak elok perwakilan UMNO merenung kembali temuramah ekslusif oleh Jamilah Aini Mohd. Rafiei bersama Ustaz Tajuddin Othman Abdullah (Reverend Thomas Laiden), bekas Paderi Besar Gereja-Gereja Seluruh Sabah. BEKAS Paderi Besar Sabah, TAJUDDIN OTHMAN ABDULLAH, mengupas perbandingan yang cukup ilmiah di antara agama Islam dan Kristian berdasarkan pengkajian yang cukup mendalam lagi terperinci berasaskan pengalaman menjadi Paderi Besar Kristian selama 12 tahun. Apa yang dihuraikan beliau itu adalah iktibar buat mereka yang MURTAD DARI AGAMA ISLAM.

istian menurut kitab Injil yang asal jika dikaji sedalam-dalamnya, maka jawapan akhir yang akan ditemui adalah ISLAM. Hakikat ini telah dibuktikan oleh ramai orang Kristian yang akhirnya mendapat hidayah Allah dan kemudiannya memeluk agama Islam. 

Tetapi apa yag paling menakjubkan kali ini, kita berpeluang berkongsi pengalaman hidup yang tiada tolok bandingannya bersama USTAZ TAJUDDIN OTHMAN ABDULLAH, seorang bekas paderi besar di seluruh Sabah, yang dilahirkan sebagai seorang Kristian dan menghabiskan sebahagian besar dalam hidupnya untuk belajar menjadi paderi. Beliau yang selama ini berada di tahap paling tinggi dan mulia sekali di Sabah kerana berkedudukan untuk mengampunkan segala dosa yang dilakukan oleh orang-orang Kristian Sabah, contohnya orang yang paling berpengaruh ketika itu, Pairin Kitingan.

Pengalamannya sebagai Bekas Paderi di sekitar 80-an membuatkan beliau banyak mengetahui selok belok agama termasuk agama Islam. Setelah puas mengkaji, akhirnya Allah memberikan hidayah kepadanya dengan memilih Islam sebagai jalan hidup. Beliau kini bertugas di Majlis Agama Islam Melaka di bahagian Unit Kristianologi. Bersama seterusnya dengan JAMILAH AINI MOHD.

RAFIEI, turut hadir SUZILAWATI ROZAINOR ABBAS dengan jurufoto WAN ZAHARI WAN MOHD. SALLEH yang berdialog dengan beliau di Masjid Al-Azim (Negeri), Air Keroh, Melaka, baru-baru ini.

SEMASA KRISTIAN saya dikenali sebagai Paderi Thomas Laiden. Saya berasal dari Sabah dan berketurunan Solok. Agama asal saya ialah Roman Katholik. Saya mendapat pendidikan di Seminary Kepaderian Vatican Itali, iaitu institusi kepaderian terulung di Itali dan di dunia dengan dibiayai oleh Persatuan Kristian Sabah. Saya tamat pengajian pada tahun 1985 seterusnya bertugas sebagai paderi di Vatican. Seterusnya saya memohon untuk kembali ke negeri asal saya, iaitu Sabah.

Pada tahun 1988 saya ditukarkan ke Sabah dan berkhidmat sebagai paderi. Saya bertugas di Gereja St. Mary dan Persatuan Gereja Roman Katholik Sabah seluruh Sabah yang berpusat di Kota Kinabalu.

Keluarga saya terlalu kuat berpegang pada agama Kristian. Itulah sebabnya bapa menghantar saya ke Vatican, dengan harapan agar saya menjadi seorang paderi yang dikira jawatan yang terlalu mulia. Saya mempunyai ramai adik-beradik tetapi kesemuanya perempuan. Saya adalah anak lelaki tunggal dalam keluarga.

Semasa menjadi paderi, saya banyak membuat kajian mengenai agama Kristian, Buddha, Hindu dan Islam. Ketika itu saya tidak tahu langsung tentang keindahan dan kecantikan Islam dan tidak pernah terlintas di fikiran untuk ke situ. Tambahan pula saya dibesarkan di dalam keluarga yang kuat mengamalkan agama Kristian. Saya aktif bergiat dalam dakyah Kristianisasi yang cenderung kepada banyak buku-buku Islam.

Setelah banyak membuat kajian, saya terfikir apabila saya dilantik menjadi paderi, saya mendapat kesimpulan yang saya sudah mula meragui agama yang saya anuti. Konflik Diri Yang Tidak Terbendung, ianya ketara di sekitar 1988, apabila sebagai seorang paderi diberi tanggungjawab yang besar iaitu untuk mengampunkan dosa manusia. Timbul di fikiran saya bagaimana saya sebagai manusia biasa bisa mengampunkan dosa manusia lain sedangkan para Nabi dan Rasul yang diutuskan Allah, mereka ini tidak sanggup mengampun dosa manusia dan tidak mampu mengampunkan dosa manusia. Saya mula serius membuat kajian mengenai Islam.

Apabila saya diberi tanggungjawab mengampun dosa orang-orang Kristian seluruh Sabah, jadi masa itu saya rasakan 

seolah-olah agama ini sengaja direka-reka oleh manusia. Seterusnya pada tahun 1989 saya kembali ke Vatican untuk membuat Kursus Kepaderian di sana selama tiga tahun.

Dialog Dengan Pope John Paul

Di sana saya telah berjumpa dengan ketua paderi tertinggi seluruh dunia iaitu Pope John Paul. Saya telah berdialog dengannya dan bertanya akan perkara yang memusykilkan saya sepanjang saya menjadi paderi.

Saya berkata kepadanya, "Paul, saya sekarang rasa ragu dengan agama yang kita ini". Dia terkejut dan bertanya, "Apa yang kamu ragukan?" Saya berkata, "Cuba John Paul fikirkan sendiri, kita ini seorang manusia biasa. Di negeri saya Sabah, di negeri saya sendiri setiap malam Ahad saya mengampunkan dosa orang Kristian yang beratus-ratus orang yang datang mengaku buat dosa. Mereka harap saya yang mengampunkan dosa mereka sedangkan para Nabi pun tidak pernah melakukannya." Beliau berkata, "Wahai Paderi Thomas, kamu ini dilantik menjadi seorang paderi, maka kamu ini seorang yang suci dan tidak mempunyai sebarang dosa," Saya katakan yang saya merasakan diri saya mempunyai dosa. Beliau seterusnya menyambung, "Memang kita manusia ini mempunyai dosa. Nabi Adam sendiri mempunyai dosa. Apabila seseorang yang telah dilantik menjadi paderi bermakna kamu ini telah dilantik oleh Jesus Christ. Jesus Christ tidak ada dosa maka kita sebagai paderi ini tidak mempunyai dosa."

Di situlah saya mula tidak percaya pada agama Kristian yang mengatakan ulamak-ulamak Kristian tidak mempunyai dosa. Saya katakan pada Paul yang ulamak Kristian itu pembohong. Dia terkejut lalu berkata, "Thomas, kamu telah dihantar hingga ke peringkat tertinggi untuk menjadi paderi, kenapa kamu berkata demikian. Cuba kamu jelaskan kenapa kamu kata agama Kristian pembohong".

Saya menyoalnya, "Jesus Christ itu Tuhan atau Nabi?" Beliau menjawab, "Dia Tuhan." "Saya bertanya kembali, Pernahkah orang nampak Tuhan? Bagaimana wujudnya Tuhan? Siapa Tuhan kita sebenarnya, Jesus Christ (Nabi Isa) atau Allah bapa? (Allah)." Beliau mengatakan Jesus itu Tuhan. Saya menyoal kembali, "Apa matlamat utama Jesus Christ diutus ke dunia?" Beliau menjawab, "Untuk menebus dosa bangsa manusia, semua bangsa dan agama."

Jadi saya katakan padanya kenapa perlu ada paderi tukang ampun dosa jika Jesus Christ sudah menebus dosa semua manusia. Di situ dia mula pening dan terpinga sambil berkata, "Paderi Thomas awak ini telah dimasuki iblis sehingga berani mempertikaikan Kristian." Saya katakan padanya,"Kita seorang paderi yang suci, bagaimana iblis boleh masuk?" Saya juga katakan padanya saya mempunyai ibu-bapa dan adik-beradik, apabila ibu-bapa saya membuat dosa mereka mengaku di hadapan anak, kerana kedudukan saya ketika itu sebagai seorang paderi. Jadi saya terfikir bagaimana saya seorang anak boleh mengampunkan dosa ibu-bapa. Sepatutnya seorang anak yang meminta ampun dari ibunya.

7 Rukun Kristian

Selepas perdebatan itu Pope John Paul meninggalkan saya, sebagai seorang paderi beliau tidak boleh marah kerana marah merupakan satu dosa. Di dalam Kristian mempunyai tujuh rukun iaitu:-
  1. Ekaristi Pembaptisan - seseorang yang ingin memeluk Kristian, mereka mesti dibaptiskan air suci.
  2. Ekaristi Pengakuan - mengaku dosa di hadapan paderi
  3. Ekaristi Maha Kudus - memakan tubuh Tuhan (Khusti kudus)
  4. Ekaristi Minyak Suci - air suci
  5. Ekaristi Krisma - penerima ekaristi Maha Kudus layak menerima Krisma
  6. Kristi Imaman - menjadi paderi
  7. Ekaristi Perkahwinan - hanya untuk penganut awam (Paderi tidak menerima ekaristi ini)
Air Suci (Holy Water)

Dalam Kristian air suci atau lebih dikenali sebagai Holy Water, adalah paling bernilai sekali. Untuk menjadi seorang Kristian, seseorang perlu menjalani Ekaristi Pembaptisan iaitu meminum air ini. Ia diperolehi dari proses uzlah yang dijalani sebelum menjadi paderi. Jika tidak mempunyai akidah yang benar-benar kuat, akidah boleh rosak disebabkan air ini. Contohnya ialah seperti apa yang berlaku ke atas seorang doktor perempuan Melayu di Selangor. Setelah minum, beliau langsung tidak boleh mengucap, hatinya telah tertutup. Menurutnya beliau sudah tidak yakin lagi dengan agama lain kecuali Kristian sahaja kerana melalui Kristian beliau boleh melihat Tuhan Jesus yang turun setiap malam. Itulah permainan iblis. Sesiapa yang meminum air tersebut dapat melihat apa sahaja. Sebaik sahaja doktor tersebut meminumnya, akhirnya beliau memeluk Kristian. Saya pergi menemuinya, dia katakan kepada saya Islam tidak benar, hanya Kristian agama yang benar kerana umatnya boleh melihat Tuhan. Apabila saya tunjukkan air itu kepadanya sambil bertanya pernahkah beliau meminumnya. Beliau menjawab memang pernah meminumnya semasa beliau belajar di Indonesia; apabila pergi ke gereja beliau akan diberi minum air tersebut.

Beliau menyatakan kepada saya beliau akan hidup dan mati dalam Kristian. Saya membacakan kepadanya surah Al-Kahfi di samping memintanya mengamalkan surah tersebut setiap masa. Alhamdulillah ama-kelamaan keadaannya semakin pulih.

Inilah permainan sihir sebenarnya. Tidak siapa dapat melawan ilmu Allah, hanya ilmu Allah sahaja yang berkesan menghapuskan permainan sihir. Tidak lama kemudian beliau kembali mengucap dan terus menangis. Saya katakan kepadanya saya sudah terlalu berpengalaman dengan taktik Kristian. Itulah, cara memikat orang untuk ke agama Kristian cukup mudah, tidak mengapa jika tidak percaya kepada agama Kristian, tetapi apabila minum air itu segala-galanya akan berubah. Setelah saya mempelajari Islam barulah saya tahu rupanya iblis ini boleh menyerupai bermacam rupa. Kekuatannya hanya pegangan akidah.. Tetapi Holy Water ini sekarang tidak boleh lagi diedarkan di Malaysia kerana orang yang pembuatnya di biara Vatican telah memeluk Islam dan membongkar rahsia ini. Ramai orang sudah tahu mengenai air ini dan mula berhati-hati dengan setiap apa yang meragukan.
Ekaristi Maha Kudus

Rukun yang kedua pula iaitu Ekaristi Maha Kudus bermaksud memakan tubuh Tuhan. Saya pernah berhujah dengan John Paul mengenainya. Saya katakan padanya sedangkan Firaun yang zalim itupun tidak pernah memakan tubuh tuhan kenapa pula kita sebagai ulamak Kristian boleh makan tubuh tuhan?.

Saya jelaskan kepadanya, apabila semua paderi memakan Khusti Kudus (sejenis makanan yang diimport khas dari Itali) bermakna itu satu penghinaan kerana tubuh tuhan boleh dimakan. Kata beliau, itu memang sudah menjadi rukun Kristian dan tidak boleh dipertikaikan lagi.

Apa yang paling merbahaya ialah Holy Water. Khusti Kudus tidak mempunyai rahsia apa-apa, ia seolah-olah seperti roti yang dicampur dengan bahan lain. Berlainan dengan Holy Water yang kesannya cukup kuat. Bayi-bayi yang baru dilahirkan pun dibaptiskan. Terdapat sesetengah klinik yang membaptiskan bayi walaupun bayi tersebut Islam. Bagi kepercayaan Kristian setiap bayi yang baru lahir wajib dibaptiskan kerana ia mempunyai dosa, ia menyimpan dosa pusaka yang ditinggalkan datuk-moyang mereka. Ia berlainan dengan Islam, Islam meletakkan bayi yang baru lahir itu adalah dalam keadaan fitrah (bersih).

Sebenarnya agama Kristian ini salah. Di dalam semua kitab tidak ada mengenai agama Kristian. Kristian ini baru sahaja berkembang oleh seorang Paul yang pertama di zaman Julius kemudian beliau mengembangkannya. Asal agama Kristian ialah dari agama Yahudi dan Nasara. Tetapi di Romawi ia dinamakan Kristianisasi. Jika kita meneliti didalam kitab Nabi Isa (Injil) tidak ada disebut Kristian.

Sebenarnya semua ulamak Kristian tahu mengenai kedudukan agama Islam. Pernah terjadi dalam tahun '78, semasa itu saya terjumpa kitab yang menyatakan kebenaran dan Nabi Muhammad. Tetapi semasa itu saya tidak begitu memperdulikannya. Di dalam kitab tersebut ada menyebut mengenai Ahmad iaitu Nabi Muhammad s.a.w

Ketika itu saya masih belajar di Vantikan, oleh kerana saya kurang sihat saya tidak dapat mengikut kelas pengajian. Saya diberi tugas oleh seorang paderi untuk menjaga sakristi perpustakaan yang terdapat di gereja untuk menjaga kitab-kitab di situ. Paderi tersebut mengatakan kepada saya,Thomas, kamu perlu menjaga kesemua kita-kitab di sakristi ini tetapi kamu tidak boleh membuka almari." Beliau menunjukkan kepada saya almari yang dimaksudkan. Saya hairan kerana beliau melarang saya membuka almari tersebut sedangkan kuncinya diserahkan kepada saya. Sifat manusia, apabila dilarang maka itulah yang ingin dibuatnya. Ketika itu semangat saya terlalu berkobar-kobar untuk mengetahui isi kandungan kitab yang diturunkan kepada Nabi Isa a.s. Saya mengambil kitab itu dan menyembunyikannya.

Kitab tersebut ditulis di dalam bahasa Hebron. Ia masih saya simpan hingga ke hari ini dan saya dalam proses untuk menterjemahkannya ke dalam bahasa Melayu. Ia menjadi rujukan kepada saya, dan sebagai bukti untuk berdebat dengan orang-orang Kristian. Saya telah utarakan kepada Majlis Agama Islam Melaka, jika boleh saya ingin menterjemahkannya dan sebarkan kepada orang ramai. Pihak Majlis tidak berani melakukannya, menurut mereka ia akan mengancam nyawa saya kerana dengan pendedahan kitab tersebut rahsia Kristian akan tersebar.

Isi kitab tersebut sama dengan al-Quran. Rupa-rupanya barulah saya mengetahui semasa upacara mengangkat sumpah dalam proses beruzlah pada hari yang ke 39, setiap paderi akan meletakkan tangan mereka ke atas kitab yang dibalut dengan kain putih yang diletakkan di atas bantal. Tidak siapa dibenarkan membukanya dan lihat isi kandungannya. Berbalik kepada kisah saya mencuri kitab tersebut, selepas kehilangannya paderi yang menyerahkan kunci kepada saya dahulu memanggil saya dan bertanya apakah saya ada mengambilnya. Saya menafikan dengan mengatakan tidak pernah mengambil kitab tersebut. Hati saya nekad untuk tidak mengaku dan menyerahkannya kerana saya ingin mengkaji kitab tersebut.

Disebabkan seseorang bakal paderi tidak boleh berbohong, beliau mempercayai pengakuan saya. Akhirnya pada keesokannya iaitu pada hari mengangkat sumpah, disebabkan Injil tersebut telah hilang, mereka meletakkan kitab suci al-Quran (yang dibalut dan sentiasa tersimpan di almari) sebagai ganti kitab yang hilang.

Al-Quran digunakan di dalam upacara mengangkat sumpah? Semua paderi tidak tahu hal ini kecuali saya. Pada masa itu saya terfikir, apa gunanya jika kita bersumpah di atas kitab al-Quran tetapi masih tidak beriman dengannya? Bermakna semua paderi telah bersumpah di atas al-Quran tetapi kufur selepas itu.

Hidayah

Menyingkap saat saya didatangkan hidayah ialah ketika saya sudah tamat belajar dan bertugas di Gereja St. Mary, Sabah. Pada suatu malam Ahad pada tahun 1991, saya bersembahyang dengan cara Kristian di hadapan tuhan-tuhan saya iaitu. Tuhan Bapa, Ibu Tuhan (Mary) dan Anak Tuhan (Jesus Christ). Ketika itu saya terfikir di dalam hati, patung-patung ini diukir oleh manusia, saya menyembahnya setiap hari di dalam bilik.' Apabila saya selesai sembahyang saya meletakkannya di bawah tempat tidur. Hati saya berkata, alangkah hinanya Tuhanku. 

Kenapa aku boleh meletakkannya di bawah tempat tidur yang boleh aku baringkan dan letak sesuka hatiku?

Turunnya Hidayah Malam itu, selesai sembahyang saya mengambil sehelai kertas dan saya tulis diatasnya, "Tuhan, diantara agama Islam, Kristian, Hindu dan Buddha aku telah mengetahui semua agama ini. Malam ini tolonglah tunjukkan kepadaku manakah di antara tiga agama ini yang benar bagiku". Setelah itu, tak tahulah saya katakan bagaimana mengantuknya mata saya yang tak pernah-pernah saya alami rasa mengantuk yang lain macam, mata saya langsung tidak boleh terangkat.

Akhirnya saya tertidur. Pada malam itu, pada saya mungkin bagi para Nabi boleh dianggap mimpi tetapi menurut saya mungkin Tuhan ingin memberikan hidayah kepada saya. Di dalam tidur, saya merasakan seolah-olah saya menaiki lif dari satu tingkat ke tingkat lain sehingga tingkat tujuh, ketika itu mata saya tidak boleh dibuka kerana di hadapan saya ada satu cahaya yang terang benderang menyuluh. Saya bertanya kepada seorang yang berdiri di hadapan saya, orangnya MasyaAllah terlalu tinggi. Jarak diantara kaki dan kepala umpama langit dan bumi.

Saya bertanya kepadanya, Negeri apakah ini?" Beliau berkata kepada saya, "Awak tidak layak masuk ke negeri ini, ini negeri umat Nabi Muhammad s.a.w." Saya meminta keizinannya sekali lagi untuk masuk tetapi beliau tetap tidak membenarkan. Dari luar saya dapat lihat di dalamnya ada satu jalan umpamanya titi yang halusnya seperti sehelai rambut. Saya tak berani katakan ia Titian Sirat atau apa-apa kerana tidak mengetahui apa-apa ketika itu. Saya hairan kenapa orang yang berjubah dan bertudung mereka melintas jalan itu dengan mudah sedangkan saya langsung tidak boleh mengangkat kaki. Penjaga itu berkata lagi, "Awak tidak boleh masuk, tetapi awak lihatlah bagaimana keadaan mereka yang beragama Yahudi dan Nasara (Kristian)."

Alangkah terkejutnya saya apabila melihat orang-orang Kristian yang kepalanya dimasukkan ke dalam api umpama dijadikan kayu api. Saya terkejut dan sedar hanya Islam agama yang benar. Akhirnya saya tersedar seelok sahaja azan subuh dilaungkan dari masjid berhampiran.

Saya bangun dan membersihkan badan saya. Saya menuju ke kereta. Pemandu telah bersedia membawa saya tetapi saya menolak pelawaannya dan katakan kepadanya saya ingin pergi ke satu tempat yang orang lain tidak boleh ikut serta. Saya memandu kereta menuju ke sebuah masjid di atas bukit. Ketika saya tiba, mereka sedang berjemaah menunaikan fardu Subuh, saya menanti seketika sebagai menghormati agama mereka. Setelah selesai, saya pergi menemui imam yang bertugas ketika itu. Saya katakan kepadanya yang saya ingin memeluk Islam hari itu juga.

Beliau terkejut dan berkata kepada saya, "Awak ini di bawah Pairin Kitingan, Ketua Menteri Sabah, susah kami hendak Islamkan awak, tambahan pula awak paderi besar seluruh Sabah." Saya katakan padanya," Awak jangan bimbang sebab dosanya saya yang ampun, hal dia tidak perlu dibincangkan. Apa yang saya mahu, hari ini saya mahu peluk Islam."

Peluk Islam

Seterusnya imam tersebut berkata lagi, "Awak tak boleh masuk Islam sekarang sebab awak perlu mengisi borang, tandatangan surat akuan sumpah dahulu, baru awak boleh masuk Islam." Dengan agak kasar saya katakan kepadanya, "Kalau beginilah caranya untuk memeluk Islam, lebih baik orang masuk Kristian. Kalau masuk Kristian, hari ini terus dibaptiskan dan menjadi Kristian. Untuk masuk Islam pun perlu isi borang ke? Baiklah, jika hari ini saya turun ke bawah dan ditakdirkan tiba-tiba saya dilanggar kereta dan mati, maka apa akan jadi kepada saya dan siapa yang akan bertanggungjawab?" Akhirnya imam tersebut menyuruh saya mengucap dua kalimah syahadah. Maka pada pagi Ahad itu saya telah sah sebagai Islam.

Dengan Kekuatan Diri setelah selesai mengucap, saya kembali ke rumah saya. Ketika saya melalui kawasan gereja, orang ramai sudah penuh menunggu saya untuk upacara pengampunan. Mereka melambai tangan ke arah saya. Saya membalas kembali lambaian mereka. Ketika itu seakan ada satu kekuatan dalam diri saya. Saya keluar dari kereta dan membuat pengumuman di hadapan mereka. Saya katakan kepada mereka, "Kamu ini jika sembahyang pun berdosa, kalau tak sembahyang lagi bagus." Kemudian saya meninggalkan mereka yang kelihatan seperti kehairanan. Saya meneruskan perjalanan menuju ke rumah.

Di dalam rumah semua ahli keluarga sudah bersedia menanti saya untuk ke gereja. Jubah saya sudah siap diseterika. Saya panggil semua ahli keluarga sambil bertanya apakah mereka sudah makan atau belum. Mereka katakan yang mereka sudah makan kecuali Khusti Kudus sahaja yang belum dimakan. Saya katakan itu tidak payah dimakan pun tidak mengapa kerana di kedai banyak roti untuk di makan. Saya membuat pengumuman kepada mereka, saya berkata sambil memandang ke arah bapa saya, "Saya hendak memberitahu kamu sesuatu perkara. Saya belajar di Vatican selama 12 tahun dan sudah terlalu banyak menghabiskan wang bapa. Selama 12 tahun saya belajar, saya tahu bahawa agama yang saya anut ini adalah agama yang salah, agama yang betul adalah Islam."

Diperangi Keluarga

Ketika itu saya lihat tidak ada apa-apa riak di wajah bapa dan ahli keluarga saya, tetapi mereka semua terdiam. Saya menyambung kembali, "Tadi saya telah memeluk Islam di masjid bandar sana dan menyuruh saya mengucap. Bermakna hari ini saya sudah menjadi orang Islam." Bapa saya berkata kepada saya, "Oh! kamu sudah Islam! Tidak mengapa!" Seterusnya beliau menuju turun ke dapur. Saya ingatkan tidak ada apa-apa ketika itu. Saya tidak sedar rupa-rupanya beliau pergi mengambil parang panjang dan cuba menyerang saya. Saya yang kebetulan duduk di tepi tingkap di tingkat satu terus terjun ke bawah. Saya melompat dari tingkat atas dengan berkaki ayam. Tuhan masih mahu memanjangkan umur saya. Saya turun dan terus meninggalkan rumah sehelai sepinggang hingga ke hari ini.

Dari segi pengamalan kedua ibu-bapa saya yang memang cukup kuat berpegang pada agama, apabila seorang anak murtad (keluar Kristian) mereka tidak lagi mengaku anak.

Selepas itu saya pergi ke Jabatan Agama Islam Sabah. Demi keselamatan diri saya, salah seorang pegawai di sana menasihatkan saya agar pergi belajar dan keluar dari Sabah. Akhirnya saya merantau ke Semenanjung dan menyambung pengajian saya di Institut Dakwah Kelantan pada tahun 1992 dan seterusnya saya menyambung pula ke Nilam Puri sehingga tahun 1995. Ketika itu saya adalah pelajar yang paling tua sekali. Setelah tamat pengajian, saya menganggur sekejap. Tidak lama kemudian saya diterima bertugas di Majlis Agama Islam Melaka hingga ke hari ini. Kemungkinan juga selepas ini saya akan dipindahkan ke majlis Agama Islam Kelantan.

Di sini (Melaka) saya ingin menerbitkan buku mengenai kajian Kristian. Tetapi terlalu banyak banyak prosedur yang perlu dijalani. Kini setelah hampir sembilan tahun saya memeluk Islam dan meninggalkan Sabah, saya masih diugut dan dikecam. Namun saya tidak khuatir kerana yakin Allah tetap melindungi hamba-Nya dan yakin ajal maut itu tetap datang walaupun bersembunyi di ceruk mana sekalipun. Kini saya bahagia setelah mendirikan rumah tangga bersama isteri yang cukup memahami jiwa saya. Dalam usia 49 tahun, saya baru mempunyai seorang cahaya mata berusia satu tahun setengah. Islam tidak menyusahkan penganutnya. Jika menjadi paderi perkahwinan tidak dibenarkan tetapi setelah Islam, baru saya tahu betapa indahnya perkahwinan dan zuriat yang merupakan rezeki dari Allah (SWT).

Di Vatican, orang Kristian yang keluar agama kemudian masuk ke negara tersebut, mereka akan bunuh. Bagi mereka seseorang yang murtad dianggap kotor dan mencemarkan maruah agama. Tetapi adakalanya saya terfikir, jika di sana orang Kristian murtad kenapa ianya tidak terjadi di negara yang pemerintah dan majoriti penduduknya beragama Islam. Itulah yang susahnya.

Saya membuat kajian hampir empat tahun baru mendapat nikmat Islam. Terlalu sukar saya mengecapi nikmat Islam tetapi orang di sini yang memang lahirnya dalam Islam dengan mudah mahu membuang Islam. Di sini saya bertanggungjawab terhadap mereka yang murtad, jika yang tidak berpengetahuan tidak mengapa tetapi yang sedihnya yang murtad ini ialah mereka yang mempunyai pendidikan hingga ke peringkat tertinggi dan mempunyai pendapatan yang melebihi dari keperluan bulanan.

Pernah saya katakan kepada seorang doktor, "Doktor, suatu ketika dahulu saya menerima gaji bulanan sebanyak RM5,000 sebulan, dilengkapi dengan pembantu rumah, pemandu dan rumah serba lengkap. Kehidupan saya terlalu mewah di Sabah. Tetapi doktor, kenapa saya sanggup melepaskan itu semua semata-mata kerana Islam! Gaji doktor sekarang terlalu mencukupi tetapi mengapa perlu tinggalkan Islam?" Saya memang cukup marah dan terkilan apabila mendengar orang yang ingin murtad. Minta maaf jika saya katakan, mengapa terlalu bodoh sangat sehingga sanggup menanggung dosa besar? Umat Islam dari segi ekonomi sebenarnya terlalu mencukupi cuma cara pelaksanaannya yang agak longgar.

Kesatuan gereja

Kita lihat Kristian, dari segi kerjasama dan ukhuwah mereka begitu kuat. Semasa saya menjadi paderi dahulu, apabila saya masuk ke sesebuah kampung untuk berdakwah saya dibekalkan beberapa ribu wang. Ini kerana gereja di seluruh dunia bersatu padu. Meskipun dari segi politik berbeza dan bermusuh tetapi untuk menghancurkan Islam mereka mesti bersatu. Mereka berkata jika di negara Barat, penduduk penganut Kristian tidak bersembahyang pun tetapi mereka tetap Kristian. Gereja di sana setiap hari Ahad kosong kerana setiap hari Ahad diadakan acara perlawanan bola sepak di kalangan paderi. Orang ramai pergi menyaksikan acara tersebut. Itu yang mereka minat. Oleh sebab itu peruntukan untuk di sana sudah tidak ada lagi. Sebagai alternatifnya mereka akan mengalihkan peruntukan itu untuk disalurkan ke negara Asia terutamanya ke Indonesia dan Malaysia.

Begitulah kuatnya kerjasama di antara mereka. Bagi mereka tidak perlu berdakwah untuk orang Barat yang sudah sedia Kristian sebab untuk mereka memeluk Islam sukar. Yang lebih penting ialah misi mengkristiankan orang Islam.

Bagi pandangan saya, saya lihat orang Islam agak susah untuk bersatu. Masing-masing mempunyai fikrah yang berbeza dan hidup dalam kelompok sendiri. Kadangkala di kalangan orang Islam sendiri bergaduh. Ini berlainan dengan orang Kristian yang amat menitikberatkan soal kebajikan. Namun bukan semua orang Islam begitu, masih ramai di kalangan mereka yang bijak. Semasa saya menjadi paderi, saya memberikan tumpuan kepada orang miskin. Pernah terjadi di Perak, saya telah menghabiskan beratus ribu untuk mereka, mereka mengambil wang tersebut tetapi tidak memeluk Kristian. Selepas saya Islam, saya pergi menemui mereka, senarai nama mereka masih ada dalam simpanan saya. Setelah saya periksa rupa-rupanya mereka ini masih Islam walaupun pada awalnya mereka berjanji untuk memeluk Kristian. 

Alhamdulillah mereka tidak berdendam pada saya sebaliknya mereka membelanja saya makan setelah mengetahui saya telah memeluk Islam.

Masalah Kelemahan Pendakwah Islam

Adakalanya saya terfikir kenapa ketika Barat menjajah kita, orang Melayu tidak murtad sedangkan pada hari ini negara yang pemerintahnya Islam tetapi orang Melayu boleh murtad dengan begitu mudah sekali. Kelemahan kita ialah pendakwah Islam kadang-kadang boleh kalah dengan pendakwah Kristian. Saya beri contoh seorang kawan saya yang pernah sama-sama belajar dengan saya semasa di Vatican dahulu. Beliau pernah menyatakan kepada saya, orang Yahudi sekarang sedang memberi tumpuan kepada kajian al-Quran dan Hadis.

Dia mengatakan pada saya; "Wahai Thomas, (dia tetap memanggil saya dengan nama Kristian walaupun saya telah Islam), Allah ada mengatakan di dalam salah sebuah ayatnya yang bermaksud; "Tidak akan masuk syurga melainkan orang-orang yang beragama Yahudi dan Nasara." Sekarang kami pendakwah Kristian mahu pandai membaca al-Quran, terjemahan dan hadis. Kami mempunyai kursus khusus mengkaji al-Quran dan Hadis. Awak lihatlah apa yang telah dikatakan oleh Tuhan mu itu." Saya katakan kepadanya, "Betul apa yang awak baca ini. Kami membaca al-Quran bukan seperti apa yang awak faham. Memang benar awak membaca ayat itu tetapi al-Quran ini jika awak tafsir separuh-separuh itu tidak betul. Al-Quran bukan seperti Injil yang boleh ditafsir separuh-separuh. Saya dahulu apabila belajar al-Quran mengambil masa sehingga tiga tahun baru khatam. Saya ucapkan terima kasih pada awak kerana hanya enam bulan awak sudah boleh membaca al-Quran." Saya katakan lagi padanya, "Sebenarnya awak tidak tahu tafsir al-Quran. Maksud sebenar ayat tersebut ialah "Telah berkata mereka (orang-orang Yahudi dan Nasara), tidak akan masuk syurga melainkan orang Yahudi dan Nasara, sedangkan semua itu hanyalah merupakan angan-angan kamu yang kosong." Itu bukan firman Allah, kata-kata itu adalah keluar dari mulut orang-orang Yahudi sendiri. Paderi tersebut masih belum faham lalu bertanya, "Apakah angan-angan kosong itu?" Saya katakan,"Setiap hari Ahad kamu makan tuhan kamu. Apabila kau menghadap Khudsi Kudus sambil berdoa bermakna kamu telah memakan tuhan kamu. Untuk apa kamu berbuat demikian?" Beliau tidak boleh berkata apa-apa walaupun mukanya telah merah padam. Saya katakan kepadanya, "Kamu tidak boleh marah. Kalau kamu marah, siapakah yang akan mengampunkan dosa kamu?"

Hal itu tidak mengapa jika diutarakan di hadapan mereka yang faham, tetapi apa yang saya bimbangkan bagaimana jika ayat itu dibacakan di hadapan mereka yang tidak faham dan rendah pengetahuan agamanya?
Siapakah Sasaran Kristian?

Program mereka kini ialah berdakwah kepada orang Islam yang menghabiskan masa di kaki-kaki lima terutamanya golongan remaja yang bermain gitar. Mereka akan katakan, jika bermain di kaki lima tidak mendapat apa-apa bayaran, lebih baik bermain lagu di gereja setiap hari Ahad dengan pendapatan lumayan. Dari situ ramai yang tertarik.

Dari segi wanita Islam pula, yang saya perhatikan senarai namanya terlalu ramai orang Melayu yang memohon menukar nama di Jabatan Pendaftaran Negara (JPN). Itu yang menyedihkan saya. Di JPN, beratus nama sedang menunggu, apabila pihak JPN meluluskan nama- nama tersebut, maka akan murtadlah nama-nama itu. Itu kelemahan undang-udang negara, kami tidak boleh berbuat apa-apa kerana mereka ini berpegang pada peruntukan yang mengatakan apabila seseorang yang berumur 18 tahun ke atas bebas beragama.

Apa ikhtiar kita?

Ada seorang wanita berjumpa saya tetapi keadaannya meragukan. Beliau memakai tudung. Saya menggunakan isteri saya untuk memerhatikan wanita ini. Bila mereka tinggal berdua, barulah saya tahu di dalam tudungnya itu ada salib. Isteri saya memberitahu saya. Saya memanggilnya. Saya katakan kepadanya, "Kamu tidak sayangkan Islam ke? Tolong buang benda yang ada di dalam tudung kamu itu". Dia tidak mengaku, tetapi saya yakin beliau memakainya. Sejurus kemudian beliau mengeluarkan rantai salib di lehernya dan mengatakan beliau sengaja memakainya tanpa mempunyai niat apa-apa. Saya katakan padanya yang saya dahulu memakai rantai yang lebih besar daripadanya.

Akhirnya saya megambil rantai tersebut dan menyimpannya di pejabat saya untuk dibawa ke pihak atasan dan menerangkan bagaimana seriusnya penyakit ini di kalangan anak remaja kita. Wanita jika tidak kuat pegangan memang mudah dipengaruhi.

Ada juga taktik orang-orang Yahudi yang menjadikan perkahwinan sebagai langkah paling mudah untuk memurtadkan gadis Islam. Untuk berkahwin, mereka (lelaki Kristian) akan memeluk Islam, kemudian akan membawa isterinya ke negara asalnya dan memurtadkan isterinya itu. Kemenangan Islam, Keadilan Sejagat 'Sesungguhnya orang-orang yang berkata: Tuhan kami ialah Allah, kemudian mereka beristiqamah, turun kepada mereka malaikat Allah berkata: jangan kamu takut dan jangan berdukacita, dan bergembiralah dengan syurga yang dijanjikan kepada kamu.'
Journey to Islam Oleh : Redaksi 23 Jan 2004 - 5:29 pm 
Oleh JAMILAH AINI MOHD. RAFIEI,
turut hadir SUZILAWATI ROZAINOR ABBAS
dengan jurufoto WAN ZAHARI WAN MOHD. SALLEH
Terbitan : 24 Mei 2002

READ MORE - Inilah Kisah Ketua Paderi Seluruh Sabah Masuk Islam

Sepertinya Allah Menggerakkan Lidahku untuk Bersyahadat

Semula, wanita separuh baya ini adalah penganut Protestan yang sangat taat. Tapi, waktu almarhum suami tercinta, Andre Mahsun, mengutarakan diri masuk Islam kepadanya, tiba-tiba hidayah Allah datang menghampirinya pula. Tepat setelah tujuh belas tahun Yustina, 49 tahun, berhasil mengkristenkan sang suami.

Pergulatan ideologi sesingkat ini tentu hal yang sangat luar biasa dan tidak mudah dilakukan setiap orang. Kalau bukan karena kehendak Allah, rasanya mustahil ibu Yus, begitu biasa sang ibu dipanggil, melepas keyakinan yang dianutnya sejak kecil. Kepada Sari Narulita dari majalah Hidayah, ia ungkapkan proses keislamannya yang sangat cepat itu.

Banyak orang yang tidak percaya kalau aku penganut Kristen Protestan. Mungkin karena aku terlahir dan besar di Jakarta, di kawasan Kramat Raya Jakarta Pusat. Sehingga, banyak orang menduga aku ini orang Betawi asli. 

Padahal sebenarnya orangtuaku keturunan Sunda. “Mana ada orang Betawi nonmuslim,” kata mereka berkomentar menanggapi perihal keyakinanku.

Menginjak dewasa, waktu aku berusia 24 tahun, aku memutuskan untuk menikah. Aku berhasil dipersunting pria asal Kalimantan, yang keyakinannya beda denganku. Ia adalah anak pasangan keluarga haji yang taat beragama.

Sebelum menikah, orangtuaku mengingatkan, jika dia (baca: suamiku) ingin menikahiku, maka calon suamiku itu harus melepas agama lamanya, yakni Islam. Ia harus memeluk Protestan, agama yang aku dan keluarga anut. Bila syarat ini tidak dipenuhi, maka orangtuaku tidak akan memberi izin. Bahkan, mereka mengancam akan mengusirku dari rumah, kalau aku tidak menuruti nasehat mereka.

Dengan alasan ini, walau sudah empat tahun menjalin hubungan dengan calon suami, aku lebih siap kehilangan dia ketimbang orangtua. Kekasih hati bisa dicari gantinya, sedang orangtua, mana mungkin kita dapat ganti? Batinku kala itu.

Mungkin karena begitu besarnya cinta suami kepadaku, dengan ikhlas akhirnya ia mengikuti keyakinan yang kami anut. Aku pun lalu memperkenalkan ajaran Protestan kepadanya. Agar lebih mendalam, aku membawanya ke rumah seorang pastur di kawasan Matraman, Jakarta Pusat.

Setelah beberapa bulan resmi menjadi penganut Protestan, di tahun 1996, kami pun melangsungkan pernikahan. Di gereja Pasundan, Salemba Raya, Jakarta Pusat, kami mengikrarkan diri di hadapan Tuhan untuk mengarungi kehidupan bersama.

Bersama suami, setelah menikah, aku memilih kawasan Ciledug sebagai tempat kediaman. Setahun kami lewati masa perkawinan, alhamdulillah aku dikaruniai Siska Mahsun, puteri pertamaku. Tahun berkutnya menyusul Riki (keislaman Riki pernah dimuat di Majalah Hidayah edisi Idul Fitri 2003), adiknya. Sampai kini aku hanya dikaruniai mereka berdua oleh Allah.

Mimpi Sang Suami Menjadi Hidayah Bagi Keluarga

Tanpa terasa, usia perkawinanku telah memasuki tahun ketujuh belas. Selama rentang waktu ini suamiku telah menjadi penganut Protestan yang cukup taat. Kendati orangtuanya tidak melarang, tapi mereka juga tidak mengizinkan keputusan yang diambil suamiku. Semuanya diserahkan kepada suamiku.

Sikap toleransi keluarga suami adalah peluang buatku untuk tetap bisa menjalin silaturahmi. Meski beda keyakinan, komunikasiku dengan mereka tetap akrab. Mereka bahkan pernah mengatakan terkesan melihat kepribadianku. Walau aku penganut Protestan, kepribadianku di mata mereka layaknya berkepribadian Muslim, lembut dan baik hati. 

Tujuh belas tahun bukanlah waktu yang pendek untuk bisa mengenal suatu hal. Begitu pula dengan suamiku yang telah meninggalkan Islam dan beralih menjadi penganut Protestan. Ia bahkan tidak mau kembali memeluk agama lamanya.

Pertahanan ini akhirnya runtuh, oleh hal yang menurutku sepele. Ia masuk Islam hanya karena ‘desakan’ sebuah mimpi. Jelasnya, di bulan Desember 1996, tujuh hari menjelang hari raya Idul Fitri, suamiku bercerita bahwa selama tiga hari berturut-turut ia bermimpi tentang ibunya (ibu mertuaku).

Ibu mertuaku yang beberapa waktu lalu meningal di Mekah, meminta suamiku agar mendoakannya. Suamiku resah mengingat mimpi ini. Kenapa mimpi ini datangnya berturut-turut? Permohonan doa itu seperti desakkan.

Setelah ia menceritakan mimpi itu, suamiku pun mengatakan bahwa dirinya ingin sekali mendoakan sang ibu. “Tapi kalo beda agama, doa papa tidak akan sampai,” kata suamiku ragu-ragu. Entah karena alasan apa, mulutku mengatakan hal yang berlawanan dengan keyakinan yang selama ini aku pegang. “kalau gitu papa harus masuk Islam,” kataku ringan seolah tanpa beban.

Aku tidak mengerti mengapa lidah ini begitu mudah mengatakan kata-kata seperti itu. Padahal aku penganut Protestan yang kuat, kebanggan orangtua lantaran telah berhasil mengajak suami pindah agama. Lagi pula, waktu itu aku punya anggapan miring tentang Islam. Dan beberapa alasan lain yang membuatku merasa tidak mungkin masuk agama ini. Tapi mengapa baru saja aku memberikan saran kepada suami untuk masuk Islam? Mungkin Allah yang menggerakkan lidahku.

Begitu suami mendengar saranku, ia terkejut bukan main. “Emang mamah ngijinin?” tanyanya tak percaya. “Ya silahkan aja,” kataku waktu itu. Tiba-tiba saja suamiku menangis, bersujud dan memelukku. Ia tersedu-sedu lama di pangkuanku. Raut mukanya bahagia bercampur haru.

Tak lama ia pun kemudian pergi ke kamar mandi; berwudlu lalu shalat. Tidak aneh kalau ia langsung melaksanakan hal tersebut, karena pada dasarnya ia mengenal Islam sejak kecil. Maka ketika ia kembali memeluk agama lamanya, suamiku sudah tahu apa yang harus ia lakukan.

Waktu itu aku berinisiatif pula untuk masuk Islam. Aku pikir, tidak mungkin dalam sebuah keluarga ada dua agama. Aku lalu keluar dari kamar, mencari kedua anakku untuk mengajak mereka masuk Islam. “Ayah sudah masuk Islam, gimana kalau kita ikut ayah?” tanyaku pada anak-anak.

Tidak seperti aku, mereka justru menentang. Mereka tidak mau mengikuti saranku. Apalagi anak pertamaku. Mendengar ajakan ini ia malah menangis, menjerit-jerit histeris, seperti orang kesetanan. “Nggak mau… nggak mau masuk Islaaammm!” jeritnya.

Berbeda dengan Siska, adiknya, Riki, justru mau menerima saranku. “Ya deh Bu, saya mau,” kata Riki setelah mendengar penjelasanku panjang lebar. Siska masih diam. Ia enggan masuk Islam karena khawatir guru-gurunya akan terpengaruh pada status baru yang akan disandangnya nanti.

Tapi yang paling ia takutkan, keputusan itu akan mempengaruhi nilainya, karena sebentar lagi Siska akan menghadapi ujian akhir. Walau begitu pada akhirnya toh ia mengikuti keputusan kami.

Merasa terharu, kami pun bertangis-tangisan. Saat itulah suamiku keluar dari kamar. Tatapan haru dan bahagia menyelimuti keluargaku sore itu. Kami pun bertangis-tangisan sejadi-jadinya. Kalau saja tembok pagar rumah tidak tinggi, pasti suara tangis tersebut sudah terdengar ke mana-mana. Apalagi susananya menjelang tarawih, saat setiap muslim lalu lalang melintasi rumah kami menuju masjid.

Suamiku menuntun aku dan anak-anak mengucapkan syahadat. Alhamdulillah, kini kami sekeluarga telah menjadi muslim. Hanya perasaan lega waktu itu yang terasa. Malam itu juga kami memutuskan agar besok ikut berpuasa. Kami langsung memanfaatkan momen Ramadhan yang seminggu lagi akan berakhir.

Sampai lebaran tiba, meskipun masih awam, alhamdulillah puasa kami tidak batal. Sehari menjelang lebaran, kami sekeluarga mengikrarkan keislaman di masjid al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Anak bungsuku, Riki, langsung belajar mengaji kepada ayahnya. Sedangkan aku mengunjungi keponakan suami yang tinggal di Cibubur. Kami katakan kepada mereka bahwa kami sekarang sudah menjadi muslim. Mendengar berita ini, mereka sangat gembira. Mereka segera memberikan bimbingan mengenai apa yang harus kami lakukan selanjutnya.

Selepas dari sana, kami pergi ke Blok M dan buka puasa di sana. Terus terang aku bangga, walaupun bepergian jauh, puasa yang sedang aku jalani tidak batal.

Hidayah Untuk Berjilbab

Aku dan anak-anak masih awam dalam menjalani ajaran Islam, terkecuali suami. Maka untuk urusan tata cara ibadah seperti shalat dan doa-doa yang harus dibaca dalam shalat, suamiku yang mengajarkannya. Agar lebih mudah diingat dan dihafal, ia menuliskan doa-doa tersebut di atas kertas karton besar.

Untuk menunjang pengetahuan keislamanku, aku pun banyak membaca buku-buku Islam. Dalam penampilan, aku juga berusaha merubahnya sedikit-sedikit. Seorang ustadzah yang kebetulan sedang mendata muallaf, mendatangiku. Ustadzah ini ingin memberi bimbingan agama kepada setiap muallaf. Ia pun menerangkan tentang muslimah.

Dari penjelasan ustadzah itu, aku menyimpulkan bahwa sebagai muslimah aku harus mengenakan pakaian muslimah pula. Maka aku pun memutuskan memakai jilbab. Mulanya memang nggak pede, bahkan ngerasa norak. Tapi alhamdulillah, akhirnya aku terbiasa dan berbalik menyukai pakaian ini. Puteriku yang tadinya menolak masuk Islam pun akhirnya ingin berjilbab.

Semula, tidak ada pihak keluargaku yang tahu bahwa aku sekeluarga sudah masuk Islam. Aku masih merahasiakannya, akhirnya ketahuan juga. Keluarga besarku telah mencium kabar tentang keislamanku. Tentu saja mereka marah, termasuk kedelapan orang adikku. Apalagi aku berpakaian muslimah dan berjilbab. Pakaian yang dianggap kampungan oleh keluargaku.

Padahal sebetulnya banyak sekali manfaat yang aku dapatkan dari pakaian model ini. Pertama bisa menjaga kesehatan kulit dari sinar matahari dan debu, kedua, bila aku berjalan sendirian, aku merasa aman. Tidak ada laki-laki iseng yang menggodaku lagi.

Berbeda dengan dulu, waktu aku sering berpakaian modis dan minim. Aku merasa tidak aman kalau sedang berjalan sendirian. Karena pakaian minim itulah banyak laki-laki yang memberikan kartu namanya, ngajak kenalan dan sering mereka menggoda. Padahal aku sudah punya anak dua. Kini aku berbalik merasa iba melihat kaum wanita yang berpakaian minim.

Kini aku lebih percaya diri berpakaian muslimah. Bahkan aku pernah mendatangi orangtua dengan berpakaian seperti ini. Momennya kebetulan pas waktu hari natal. Bapak langsung menarik kerudungku dengan kasar, begitu aku masuk rumah. Ia berang dan seolah jijik melihat dandananku.

“Kalau mau Islam, ya Islam aja, jangan pakai jilbab segala,” katanya marah.

Namun aku tidak peduli atas perlakuan bapak. Aku tidak ingin merubah penampilanku seperti semula. Aku tidak mau mengikuti keinginan orangtuaku. Karena itu aku tidak mau lagi datang ke rumah.

Setelah kejadian itu, bapakku jatuh sakit. Bapak koma. Kabar ini aku ketahui dari adikku yang datang menjemputku supaya datang menjenguk Bapak. “Kakak harus datang,” kata adikku yang Kristennya sangat taat. Menurutnya, bapak sakit karena terlalu memikirkanku.

Bapak pun dibawa ke rumah sakit. Hanya sehari semalam ia dirawat, setelah itu meninggal. Menjelang bapak meninggal itulah aku berpikir untuk membahagiakan hatinya. Maka sewaktu masuk ke dalam ruang perawatan untuk memenuhi panggilannya, jilbab yang sedang kupakai aku lepas. Aku berani melepasnya karena di dalam ruangan itu tidak ada siapa-siapa, kecuali bapak.

Aku masukkan jilbab ke dalam kantong celana panjang yang sedang kukenakan. Melihat aku datang tanpa jilbab, bapak tersenyum. Itulah kali terakhir dimana aku bisa melihat senyum bapak. Bapak telah menyusul ibu kandungku yang sudah wafat beberapa waktu lalu.

Aku sedih, karena mereka meninggal tidak dalam keadaan Islam. Aku sering memohon kepada Allah agar mereka diselamatkan dari siksa neraka. Meskipun aku tahu doa seorang muslim tidak akan sampai kepada mereka yang nonmuslim. Aku yakin, Allah Paling Tahu tentang segala sesuatu yang tidak tersingkap oleh mata manusia. Tidak hampir setahun dari kematian bapak, suamiku pun menyusul. Alhamdulillah, ia meninggal dalam keadaan Islam.

Kedatangan Majelis Gereja

Setelah masuk Islam, otomatis ajaran dan tata cara ibadahku berubah. Dari yang awalnya tidak mampu baca doa, kini sudah lancar baca al-Qur’an. Dari yang mulanya aktif di organisasi rumah tangga gereja (baca: semacam majlis ta’lim ibu-ibu gereja), kini kebiasaan itu berubah pula. Dari yang awalnya aktif mengikuti latihan kidung-kidung jemaat, aku kini malah berbalik aktif di pengajian-pengajian.

Mungkin karena keislamanku belum diketahui banyak orang, Majelis Gereja, sekelompok orang yang berada lebih rendah dari pastur, mendatangiku suatu hari. Mereka ingin mengundangku datang ke acara kebaktian. “Maaf Bu, saya sudah pindah agama,” kataku menjelaskan.

Wanita itu marah. Berbagai omongan yang tidak enak didengar keluar dari mulutnya. “Saya dan warga gereja akan mendoakan ibu agar bisa kembali,” katanya sambil berlalu pergi. Sampai sekarang aku tidak dihubungi lagi. Allah sudah memutuskan Islam menjadi jalan hidupku.

Bukan hanya wanita tadi, salah seorang adikku yang keyakinan Kristennya sangat kuat berkata, “Masih percaya nggak adanya Yesus?” Ia bertanya dengan nada cukup tinggi. Tapi aku tidak mau mengungkit keyakinan lamaku. Lagi pula aku tidak ingin cekcok dengannya. “Itu masa lalu saya,” jawabku singkat.

Adikku yang lain pernah mengundangku untuk datang ke acara pesta yang digelarnya. Tapi aku bilang, aku akan datang dengan pakaian muslimah. “Nggak apa-apa Kak,” katanya.

Sesampainya di sana, di luar dugaanku, mereka semua menaruh hormat padaku. Padahal acara pesta waktu itu di aula gereja. Tidak seperti yang ada dalam benakku sebelumnya, para pendeta-pendeta yang hadir di sana, tidak satu pun yang mencemooh. “Ini halal lho Bu,” kata seorang pastur waktu menawariku makanan.

Sayangnya aku tahu kalau pastur yang satu ini ingin menjebakku. Ia menawariku daging babi yang sudah dibumbui. Bagi orang yang tidak biasa makan babi, maka akan sulit mengenalinya. Aku tidak mungkin terkecoh dengan rasa dan aroma babi, hidangan yang ditawarkan pastur itu.

Ajaran Islam Membawa Ketenangan

Pertama kali mempelajari Islam, mata hatiku langsung terbuka. Ajaran Islam lebih menyentuh dan masuk akal. Apalagi kalau kita mempelajarinya dengan sungguh-sungguh. Alhamdulillah sampai saat ini aku sekeluarga masih ditetapkan dalam Islam. Semoga aku makin istiqamah dan meninggal dalam keadaan muslimah.

Sebagai orang yang baru masuk Islam, tentu aku ingin membaca kitab suci al-Qur’an sebagai kitab suci baruku. Aku coba mempelajarinya. Pertama, aku coba menghafal huruf hijaiyah. Dalam waktu dua hari, alhamdulillah aku dapat menghafalnya.

Setelah itu baru aku coba membaca al-Qur’an dengan cara mendengarkan kaset Juz Amma. Lalu aku minta Riki, anakku yang sudah pandai baca al-Qur’an, mendengarkan bacaanku. Wawasan tentang al-Qur’an terus aku tambah dengan berkuliah di sebuah perguruan khusus al-Qur’an di bilangan condet.

Sedikit demi sedikit aku terus baca dan pelajari kandungan al-Qur’an. Dan aku pun tertarik untuk mencoba membandingkan antara isi al-Kitab dengan al-Qur’an. Ternyata, apa yang ada dalam al-Kitab, seperti kisah Nabi Isa, dalam al-Qur’an pun ditulis. Tapi sebaliknya, yang ada dalam al-Qur’an, seperti kisah tentang Nabi Muhammad, tidak dijelaskan dalam al-Kitab. Selain itu, ajaran yang termuat dalam al-Qur’an pun lebih mengena dan jelas.

Ingin Naik Haji

Aku dekat dengan seorang teman. Kebetulan dia senang bertahajud. Dia menyarankanku untuk shalat tahajud. Menurutnya, bila kita sedang mendapat masalah, maka kita akan mendapat ketenangan. Karena di dalam shalat itu ada kekuatan. Terbukti, sampai saat ini, jika ada masalah yang menggangguku, bisa teratasi.

Namun, bukan berarti shalat tahajud dilaksanakan jika sedang kesusahan. Sebaiknya kita lakukan setiap malam. Awalnya memang terasa berat. Lama-lama toh bisa, jika kita mampu membiasakannya. Bahkan setelah terbiasa menjalankan, hari-hariku terasa ringan, seperti tiada beban. Semalam saja tidak bertahajud, rasanya ada yang kurang. 

Insya Allah, jika Allah masih memberi kesempatan hidup, bulan besok aku berumur 50 tahun. Di usiaku yang setengah abad ini, aku selalu berdoa supaya aku bisa naik haji. Semoga Allah mengabulkan permohonanku. Walaupun sulit mewujudkannya, namun jika Allah menghendaki, pasti akan terwujud. Karena ada teman yang tidak punya apa-apa tapi bisa naik haji. Amien. (H/Foto: Gepeng).
Sumber : Majalah Hidayah Mei 2004, hal. 38-43

READ MORE - Sepertinya Allah Menggerakkan Lidahku untuk Bersyahadat