Mencermati Gelombang Pindah Agama di Israel

Selama ini, Israel tampak pongah dan kerap mengabaikan kecaman dunia internasional atas tindakan sewenang-wenang mereka terhadap bangsa Palestina. Akan tetapi, sebenarnya di dalam negeri sendiri, masyarakat Israel tengah dilanda kekhawatiran yang besar. Mereka selalu waswas dan waspada menghadapi bom bunuh diri dari para pejuang Palestina. Begitu pula perlawanan intifada, yang buntutnya dibalas secara kejam oleh pasukan Zionis. Belakangan, bereka sibuk membendung fenomena yang melanda masyarakat mereka sendiri. Yakni, orang-orang Yahudi beralih menjadi Muslim atau Muslimah. 

Mempersulit administrasi

Gelombang pindah agama yang terjadi dalam beberapa tahun belakangan sangatlah mengkhawatirknan pihak berwenang di Isreal. Untuk itu, maka pihak Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Agama setempat berupaya sekuat tenaga untuk mempersulit proses pengesahan untuk kemudian menolak mengakui orang Yahudi yang pindah agama ke Islam. 

Pada dasarnya, surat pengesahan/pengakuan dikeluarkan oleh Kementerian Agama adalah untuk mengawasi serta mengeliminasi dua hal pokok, yakni pindah agama dan nikah beda agama. Tapi, tetap saja pindah agama kini terjadi hampir tiap hari dan dirasakan sebagai ancaman oleh kaum Zionis. Selama tujuh bulan terakhir, G, seorang wanita Yahudi yang tinggal di selatan kota Tel Aviv, harus bolak-balik ke kantor Kementerian Agama. 

Dia yang kini sudah menjadi Muslimah setelah menikah dengan seorang pria Muslim, mencoba mendapatkan surat pengakuan pindah agama. G pindah agama dan menjadi Muslimah lantaran keyakinan Yahudi melarang keras pemeluknya untuk nikah beda agama. Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri, keduanya dipegang oleh menteri yang berasal dari partai Shas, selalu menolak mengakui serta mengesahkan dokumen pindah agama dari Yahudi ke Islam. Dokumen itu sebelumnya sudah dikeluarkan oleh Pengadilan Syaria di Jerusalem. Segala hal dipersulit. Kementerian Dalam Negeri yang berwenang mengontrol pernikahan beda agama penduduk Israel dan alih agama ke Islam, kemudian mengeluarkan peraturan bahwa keduanya harus memperoleh sertifikat dari pihak Kementerian Agama, atau dari pemuka agama Yahudi. Kasus yang menimpa G tidaklah istimewa, sebab banyak lagi yang mengalami hal serupa. 

Pengajuan permohonan untuk mendapatkan sertifikat pindah agama sudah merupakan perjuangan tersendiri dan terkadang sangatlah berat. Mereka kerap mendapat perlakuan tidak menyenangkan, antara lain penundaan pengesahan yang berlarut-larut dan juga menjadi sasaran intimidasi. Bila tekanan-tekanan seperti itu tidak juga berhasil, maka pemerintah tinggal menghiraukan peraturan yang ada--demikian diutarakan Association for Civil Rights in Israel (ACRI). Akhir Mei lalu, G dan suaminya mendatangi kantor biro lokal Catatan Sipil untuk mendaftarkan pernikahan mereka dan juga perpindahan agamanya. G lantas mendatangi meja seorang petugas di sana dan menyodorkan surat nikah dan pindah agama yang dikeluarkan oleh Pengadilan Syaria. 

Petugas tadi menghiraukan dokumen-dokumen tersebut dan meminta surat yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Yahudi (rabbinical court) atau dari Kementerian Agama. Ketika keduanya lantas mendatangi kantor Kementerian Agama di Jerusalem, petugas senior di kementerian itu meminta berbicara empat mata dengan G. Dalam dialog tersebut, si petugas mendesak agar G mengubah pendiriannya dan membatalkan keputusannya pindah agama. Namun, G sudah berketetapan memeluk Islam dan itu tidak bisa diganggu gugat. Pada akhirnya dia pun memasukkan permohonan pengesahan pindah agama dan melengkapi syarat-syarat lainnya. Pasangan itu lantas mendapat penjelasan bahwa permohonan mereka akan dipelajari oleh sebuah komite khusus yang anggotanya terdiri dari petugas sosial dan psikiater. 

Komite tersebut bertugas untuk mencari tahu apakah G pindah agama karena paksaan atau tekanan pihak asing. Petugas di kantor Kementerian Agama itu pun menjelaskan, jawaban atas permohonan tersebut akan dikeluarkan paling lambat antara 6-18 bulan mendatang. Komite khusus juga berhak untuk mengeluarkan rekomendasi bahkan keputusan menyangkut sertifikat pindah agama milik G. Bulan Agustus, pengacara dari ACRI, Bana Shagri-Badarna, mendesak agar pihak yang berwenang secepatnya menanggapi permohonan G, tetapi tetap tidak mendapat respons memuaskan. Keduanya memang sangat membutuhkan surat pengesahan dari kementerian dalam negeri agar dapat memperoleh hak-hak selaku warga negara dan jaminan sosial. Akhirnya mereka pun terbang ke Bulgaria dan menikah ulang di sana secara sipil. Pada bulan Oktober, mereka mengajukan permohonan lagi yang langsung ditujukan kepada Direktur Catatan Sipil, Herzl Gadz'. Mereka masih menunggu jawaban. 

Tak ada cara lain

S, seorang pria Yahudi, memeluk agama Islam di Pengadilan Syaria pada bulan April. Seminggu kemudian, dia mengirim surat permohonan ganti nama kepada pihak kantor Catatan Sipil lokal dan sekaligus melaporkan bahwa dirinya sudah pindah agama. Petugas kantor itu lantas menghardiknya dengan keras. S pun bertemu dengan atasan petugas tersebut yang mengatakan perpindahan agamanya baru akan dicatat setelah dia mendapatkan surat pengesahan dari Pengadilan Agama Yahudi di tingkat lokal serta pihak Kementerian Agama di Jerusalem. 

Sesudah itu dia juga bertemu petugas senior sama yang memeriksa G dan suaminya. Dan S pun mendapat penjelasan serupa bahwa permohonannya akan diperiksa oleh komite khusus yang anggotanya antara lain terdiri dari psikiater. S menanggapinya dengan menegaskan bahwa dirinya memutuskan pindah agama lantaran kemauannya sendiri. Dia sudah berniat akan berusaha mempertahankan pendiriannya itu di depan komite. Apa jawaban yang diterimanya? Tanpa persetujuan komite, kepindahan agama S tak akan disahkan dan diakui secara legal formal. Karena tidak ada pilihan lain, dia pun kemudian mengajukan permohonan tersebut pada komite. 

Beberapa waktu kemudian, komite menyiapkan pertemuan dalam lima hari berikutnya, namun dibatalkan sepihak pada saat-saat terakhir. Pada bulan Agustus setelah pembicaraan dengan pejabat senior di Kementerian Agama tidak juga membuahkan hasil, pengurus dari ACRI mengontak kepala Departemen Kemasyarakatan Kementerian Agama, Yosi Hershler. ACRI meminta pengesahan pindah agama S tanpa harus menjalani pemeriksaan dari komite. Pejabat itu akhirnya menelepon S dan meminta surat bukti wajib militer. 

Namun, tetap saja surat permohonan maupun kontak kepada Hershler tidak mendapat jawaban balik. Shagri-Badarna dari ACRI juga menulis surat kepada pejabat di biro pencatatan sipil setempat dan mengatakan bahwa kebebasan beragama S telah ditekan. Dia mendesak kepada pihak yang berwenang untuk menerima dan mengakui pindah agama tersebut berdasarkan undang-undang Israel. Biro itu kemudian meneruskan keberatan tadi ke Kementerian Agama. Tujuh bulan berjalan sejak S meminta pengeasahan pindah agamanya, dan keadaan tetap tidak berubah, masih seperti semula. 

Kondisi berubah

Begitu pula A, wanita Yahudi berusia 24 tahun. Dia menyatakan diri masuk Islam di Pengadilan Syaria di Jerusalem akhir Juni. Kepada surat kabar harian setempat, Haaretz, dia mengatakan keputusannya pindah agama ke Islam bukan lantaran mengikuti agama suaminya, namun kerena dia menemukan kebenaran dalam Islam. ''Sebagai manusia merdeka, adalah hak saya untuk memeluk agama Islam dan saya tidak berhutang penjelasan pada siapa pun mengenai hal ini.'' Pada bulan Maret, dia menelepon kantor biro Catatan Sipil di Jerusalem guna menanyakan prosedur pengesahan dan pencatatan pindah agama. 

Dia selanjutnya diarahkan untuk mengajukan permohonan ke pihak Kementerian Agama di kota yang sama. Akan tetapi, wanita ini sama sekali tidak punya firasat apa pun bahwa dia sudah ditunggu perlakuan kurang menyenangkan dan pelecehan. Saat mendatangi kantor Kementerian Agama, dia menyerahkan surat permohonan kepada pejabat yang sama sebelumnya. Setelah menunggu beberapa lama, A mendapat kunjungan balasan dari pejabat tersebut yang mengatakan bahwa permohonannya telah dibawa untuk diperiksa sebuah komite khusus. 

A selanjutnya terpaksa bolak-balik selama enam kali ke kantor Kementerian Agama, bertemu orang yang berbeda, mulai dari yang merepresentasikan diri sebagai rabbi, pengacara, petugas sosial, dan juga psikiater. Masing-masing mereka mengajukan pertanyaan layaknya sebuah interogasi dan tak lupa berupaya mengubah pendirian A. Dan ketika menemui jalan buntu, salah satu interogator itu membentaknya, ''Kau mengkhianati masyarakat Yahudi'' serta, ''Kau membenci ibumu sendiri.'' Orang-orang ini, dan beberapa yang mengalami kasus serupa lainnya, takut dipublikasikan. Ini cukup beralasan. 

Mereka khawatir terhadap tekanan sosial yang pasti bakal dialami, di samping mereka pun waswas pada sepak terjang kelompok garis keras Yahudi semisal Yad La'Ahim (A Hand to The Brothers). Kelompok semacam ini tak segan-segan melakukan intimidasi fisik demi mencapai maksud dan tujuannya. Beberapa waktu kemudian, pihak ACRI menghubungi kepala Departemen Pengadilan Tinggi pada kantor Kejaksaan Agung, Osnat Mandel, dengan membawa kasus yang menimpa G, S, A dan beberapa lainnya. 

ACRI mengatakan bahwa pihak Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Agama 'telah mengancam hak kebebasan beragama, harkat dan martabat warga negara yang telah memilih untuk memeluk agama Islam.' Sementara itu seorang mantan hakim di Pengadilan Syaria mengatakan, hingga beberapa tahun lalu, sepengetahuannya tidaklah terlalu sulit memperoleh pengesahan pindah agama dari pihak berwenang setelah yang bersangkutan mendapatkan sertifikat dari Pengadilan Syaria. Biasanya, orang yang telah mengajukan permohonan, akan didengar keterangannya di hadapan pejabat dari Kementerian Agama dan pemuka agama Yahudi, untuk memastikan kehendaknya itu bukan karena paksaan atau tekanan. ''Kini kondisinya sudah berubah. Peraturan dibuat sedemikian rupa untuk menekan masyarakat yang ingin pindah agama,'' tutur dia. (RioL)

Arab Muslim di Israel 

Israel tak hanya dihuni oleh orang-orang Yahudi. Ada juga masyarakat Arab-Muslim dan mereka telah lama tinggal di kawasan tersebut. Namun, apakah mereka dapat hidup tenang, memperoleh hak-hak penuh sebagai warga negara yang berdaulat? Terdapat sekitar enam juta jiwa penduduk Israel saat ini. Dari jumlah tersebut, satu juta jiwa merupakan masyarakat Arab-Israel yang telah memperoleh hak kewarganegaraan. 

Populasi mereka terdiri dari suku bangsa Bedouin, Druze, dan Arab-Palestina. Sebagian besar adalah Muslim. Komunitas Arab Muslim tersebut sudah sejak bertahun-tahun lampau tinggal di wilayah Israel. Mereka merupakan keturunan dari keluarga Arab yang memilih menetap di sana setelah tahun 1948. Sehingga bisa dikatakan, masyarakat Arab Muslim telah menjadi bagian sejarah pendirian Israel. Terdapat beberapa perwakilan masyarakat Arab Muslim yang tinggal di Israel dalam perlemen Israel--Knesset.

Di sisi lain, karena alasan keamanan, pihak berwenang tidak mengizinkan komunitas Arab Palestina masuk di kemiliteran. Masyarakat Bedouin bisa mendaftarkan diri sukarela, sementara Arab Druze diperbolehkan memilih. Kebanyakan mereka menetap di sejumlah kota besar semisal Haifa dan Akko. Namun lainnya lebih memilih tinggal di desa-desa mereka sendiri yang tersebar di beberapa wilayah Israel. Hingga sebelum mencapai universitas, anak-anak Arab Muslim dan Yahudi mendapat pendidikan di sekolah yang berbeda. Masyarakat Arab Israel memang merupakan warga negara, tapi mereka tidak dianggap sebagai bagian dari Israel. Mereka tidak punya akses ke kekuasaan, dan masih mencari identitas mereka sendiri. Orang-orang Yahudi yang mayoritas tidak pernah memandang komunitas Arab Israel sebagai partner. Mereka memilih mencari partner dari luar negeri. 

Oleh karena itu, masyarakat Arab Israel lebih suka menyebut diri mereka sebagai 'warga Palestina di Israel.' Definisi ini mengacu pada keterkaitan secara teritori pada wilayah Palestina. Sejatinya, hubungan mereka pada Israel hanya sebatas hubungan yang bersifat teknis saja, tidak ada tanggung jawab sama sekali pada keamanan Israel, ekonomi, dan komitmen keberadaan di sana. Dengan dipimpin sejumlah anggota Knesset, tokoh masyarakat, tokoh agama dan akademisi, komunitas Arab Israel menuntut agar Israel menjadi 'negara bagi semua warga negaranya.' Dengan kata lain, jangan lagi hanya sekadar menjadi negara Yahudi namun juga mengakui hak-hak orang Arab Israel setara dengan warga negara lainnya. Mereka juga menuntut jaminan kebebasan menjalankan ibadah sesuai keyakinan seperti yang pernah mereka nikmati pada tahun 1948. (RioL)

1 comment: